Minggu, 13 Januari 2013

Asal-usul


Sejarah Perjuangan Rakyat Madiun Masa Kerajaan - Masa Kemerdekaan

Sejarah Perjuangan Rakyat Madiun Masa Kerajaan - Masa Kemerdekaan


Sejarah  Kerajaan Madiun dan Sekitarnya

Jejak-jejak  pemerintahan kerajaan dan kolonial di Madiun dapat kita lihat dan  pelajari dari catatan-catatan kuno yang masih ada yaitu berupa catatan-catatan sejarah yang berasal  dari para pujangga atau penulis pada masa Pemerintah Hindia Belanda, Kasunanan Surakarta, Kasultanan Jogjakarta serta cerita rakyat, cerita tutur dalam lakon-lakon kethoprak dan sisa-sisa peninggalan sejarah, yang berupa artefak dan tradisi budaya.

Jejak Kerajaan Medang Kahuripan di Madiun

Pada abad ke-8 M wilayah Madiun berada di bawah pemerintahan Kerajaan Mataram Kuno dengan penguasa Dinasti Sanjaya yang berpusat di sekitar Jogjakarta sekarang, tidak lepas dari politik dan perebutan kekuasaan maka pusat pemerintahan kerajaan Mataram Kuno berpindah beberapa kali dan sampai akhirnya pusat pemerintahan Mataram pada abad ke -10 pindah ke Jawa Timur kemudian disebut  kerajaan Medang yang di kuasai oleh Dinasti Isyana sebagai penerus Dinasti Sanjaya dan Syailendra. Raja Medang terakhir adalah Sri Maharaja Teguh Darmawangsa  Anantawikrama Tunggadewa, wilayah kerajaan Medang bagian barat  berbatasan langsung dengan Kerajaan Wurawuri / Worawari  yang pusat kerajaannya  kemungkinan di daerah Cepu  Jawa Tengah. Hubungan Medang dan Wurawari memanas sejak Kerajaan Wurawari berhubungan erat dengan Kerajaan Sriwijaya untuk merebut selat Malaka  sebagai jalur  perdagangan. Persaingan memuncak Prabu Darmawangsa mengirim pasukan untuk menduduki Malaka tahun 990-992 M. Dalam perseteruan tersebut. Madiun punya arti penting, sungai Madiun dijadikan sebagai lalu-lintas perdagangan dan militer. Winangga ( Kelurahan Winongo) dijadikan  sebagai pelabuhan biduk. Dalam bidang pertanian Prabu Darmawangsa menuliskan perundang-undangan tentang Tata air pertanian pada salah satu batu di Prasasti Sendang Kamal dengan Bahasa Kawi yang berisi kutipan Kitab Shiwasana yaitu  Kitab UU Hukum yang mengatur kehidupan bernegara dan masyarakat menurut ajaran Hindhu Syiwaise yaitu kita harus taat Tri Darma bhakti : Kita wajib berbakti pada Siwa, Negara dan masyarakat termasuk keluarga Pusat pemerintahan Prabu Darmawangsa berada di Wwatan kemungkinan Wwatan berada di wilayah Maospati Madiun. Pada saat pesta pernikahan putri Prabu Darmawangsa dengan Airlangga, tiba-tiba Kota Wwatan diserang oleh pasukan Wurawari yang berasal dari Lwaram ( Mungkin sekarang Desa Ngloram, Cepu, Kab. Blora )  peristiwa ini tercatat dalam Prasasti Pucangan. Prabu Darmawangsa Teguh tewas dan Airlangga berhasil melarikan diri ke Wonogiri ditemani Mpu Narotama, setelah tiga tahun dalam pelarian Airlangga membangun kembali Kerajaan Medang  di Watan Mas (dekat Gunung Penanggungan). Airlangga naik tahta untuk melanjutkan wangsa Isyana di Jawa Timur tahun 1009 M. setelah melakukan penaklukan-penaklukan semua daerah  diantaranya Raja Hasin dari (?), Raja Wisnuprabawa dari Wuratan, Raja Wijayawarma dari Wengker (Ponorogo), Raja Panuda dari Lewa, Raja Putri dari Wilayah Tulungagung dan pada tahun 1032 Prabu Airlangga menaklukan Raja Wurawari serta menumpas pemberontakan Wijayawarma Raja Wengker. Wilayah kekuasaan Prabu Airlangga membentang dari Pasuruan Timur sampai wilayah Madiun dan membangun istana baru di daerah Sidoarjo bernama Kahuripan.


Asal Mula Nama Madiun

Pada masa pemerintahan Ki Ageng Reksogati dan Pangeran Timur nama Madiun belum ada, daerah ini dulu disebut Kadipaten Puroboyo atau Purboyo, kemudian sekarang diambil sebagai nama Terminal di Madiun. Asal kata Madiun mempunyai banyak versi, yang ditinjau dari berbagai sudut pandang, diantaranya yaitu : gabungan  dari : kata "medi" (hantu) dan "ayun-ayun" (berayunan), yaitu dikisahkan ketika Ki Mpu Umyang / Ki Sura bersemedi untuk membuat sebilah keris di sendang panguripan ( sendang amerta ) di Wonosari ( Kuncen, sekarang ) diganggu  gendruwo/ hantu yang berayun-ayun di pinggir sendang, maka keris tersebut diberi nama ”Tundung Mediun”. Kemudian cerita lain berasal dari “Mbedi” (sendang) “ayun-ayunan” (perang tanding) yaitu perang antara Prajurit Mediun yang dipimpin oleh Retno Djumilah di sekitar sendang. Kata ”Mbediun” sendiri sampai sekarang masih lazim diucapkan oleh masyarakat terutama di daerah Kecamatan Kare, Madiun. Mereka mengucapkan Mbediun untuk menyebutkan Madiun, versi berikutnya adalah Madya-ayun yaitu Madya ( tengah )  ayun ( depan ), Pangeran Timur adalah adik ipar dan  juga salah satu bangsawaan Demak yang sangat di hormati oleh Sultan Hadiwijoyo di Kasultanan Pajang, maka pada waktu acara pisowanan beliau selalu duduk sejajar dengan Sultan Hadiwijoyo di Madya ayun ( tengah depan )


Madiun pada Masa Kerajaan Mataram Islam

Pada akhir Pemerintahan Majapahit atau Masa kejayaan Kasultanan Demak Bintoro di wilayah Madiun selatan terdapat Kadipaten Gegelang atau Ngurawan yang didirikan oleh Pangeran Adipati Gugur salah satu putra  Prabu Brawijaya V. Dengan perkawinan putra mahkota Demak Pangeran Surya Pati Unus dengan Raden Ayu Retno Lembah yang merupakan putri Pangeran Adipati Gugur yang berkuasa di Ngurawan ( mungkin Dolopo sekarang ) maka  pusat pemerintahan dipindahkan dari Ngurawan ke Desa Sogaten  dengan nama baru yaitu Purabaya. Pangeran Surya Pati Unus menduduki Tahta Kabupaten Purabaya menggantikan Kyai Ageng Reksogati yang sebelumnya diangkat oleh Kasultanan Demak sebagai  pemimpin sekaligus penyebar agama Islam di wilayah Sogaten mulai tahun 1518 (Sogaten = tempat Kyai Reksogati)  berdasarkan penduduk setempat istana Purabaya di Sogaten disebut Bale kambang dan terdapat pula dusun Santren    ( mungkin dulu tempat Pesantren Kyai Reksogati )

Pangeran Timur dilantik menjadi Bupati di Purabaya bersamaan dengan dilantiknya Hadiwijoyo sebagai Sultan Pajang tanggal 18 Juli 1568,  pemerintahan  berpusat di Desa Sogaten dan Sidomulyo sekarang. Sejak saat itu secara yuridis formal Kabupaten Purabaya menjadi suatu wilayah pemerintahan Kabupaten di bawah Kasultanan Pajang ( sebagai penerus Demak).

Pada tahun 1575 pusat pemerintahan dipindahkan dari Sogaten ke Desa Wonorejo/Wonosari di sebut juga Kutho Miring (demangan sekarang) yang letaknya lebih strategis karena diapit 2 sungai yaitu Kali Catur dan Nggandong, sampai tahun 1590.

Pada tahun 1686 Kesultanan Pajang Runtuh akibat adanya konflik internal dan serangan dari Mataram, maka Panembahan Rama (sebutan lain pangeran Timur)  menyatakan bahwa Purabaya adalah kabupaten bebas yang tidak terikat dengan hierarki Mataram, dengan tidak tunduknya Purabaya pada Panembahan Senopati, maka Mataram segera mengirim expedisi militer untuk menaklukan Purabaya, yang pada saat itu sebagai pimpinan Kabupaten Mancanegara Timur (Brang wetan), tahun 1686 dan 1687.  Namun prajurit Mataram selalu menderita kekalahan yang cukup berat. Prajurit Purabaya dan sekutu dipimpin oleh Raden Ayu Retno Djumilah yang telah mendapatkan mandat dari ayahnya Panembahan Rama. Retno Djumilah memimpin seluruh Kabupaten Mancanegara Timur diantaranya, Kabupaten Surabaya, Pasuruan, Kediri, Panaraga, Kedu, Brebek, Pakis, Kertosono, Ngrowo (sekarang Tulungagung), Blitar, Trenggalek, Tulung, Jogorogo dan Caruban. Pada tahun 1690, dengan berpura-pura menyatakan takluk dalam versi lain atas saran Ki Mandaraka  (Ki Juru Mertani)  Panembahan Senopati mengutus seorang dayang cantik jelita bernama Nyai Adisara untuk menyatakan kekalahan dengan membawa surat takluk dan sebagai tanda, Nyai Adisara membasuh kaki Panembahan Rama yang airnya nanti digunakan untuk siram jamas Panembahan Senopati, hal ini membuat Pasukan Purabaya  dan sekutunya terlena, maka berangsur-angsur pulanglah pasukan sekutu dari  Kabupaten Purabaya, dengan ahli strategi Ki Juru Mertani dan  40.000 prajurit    Mataram  yang telah bersiap di barat Kali Madiun menyerang pusat istana Kabupaten Purbaya, terjadilah perang hebat, tepat pada sore hari prajurit Madiun kalah dan banyak yang melarikan diri ke Surabaya, tinggalah Raden Ayu Retno Djumilah yang memang sudah ditugaskan ayahandanya untuk mempertahankan Purabaya, dengan di bekali pusaka  Tundhung Mediun yang bernama Keris Kala Gumarang dan  sejumlah kecil pengawalnya. Perang tanding terjadi antara Sutawidjaja dengan Raden Ayu Retno Djumilah dilakukan disekitar sendang di dekat istana Kabupaten Wonorejo (Madiun)

Pusaka Tundung Madiun berhasil direbut oleh Sutawijaya dan melalui bujuk rayunya, Raden Ayu Retno Djumilah dipersunting oleh Sutawijaya dan diboyong ke istana Mataram sedangkan Panembahan Rama (Ronggo Jumeno) melarikan diri ke Surabaya, sebagai peringatan penguasaan Mataram atas Purabaya tersebut maka pada hari Jum'at Legi tanggal 16 Nopember 1590 Masehi nama “Purabaya” diganti menjadi “Mbediyun ” atau Mediun.


Situasi  Perang Trunojoyo dan Suropati di Madiun


Pada tahun 1676 terjadi pemberontakan Trunojoyo terhadap Amangkurat I di Mataram yang bekerjasama dengan VOC. Trunojoyo, pangeran dari Madura ini  banyak mendapat dukungan dari berbagai kalangan. Setelah berhasil menguasai hampir separoh wilayah Mataram, pasukan Trunojoyo menyerbu istana Mataram di Plered dan berhasil menguasai Mataram, hingga Sri Susuhunan Amangkurat I harus menyingkir ke barat, sampai di Tegalwangi dan meninggal di sana (terkenal dengan Sunan Tegalarum), menggantikan ayahnya Pangeran Adipati Anom bergelar Susuhunan Amangkurat II, segera bersekutu dengan VOC untuk memberantas Pasukan Trunojoyo. Akhirnya tahun 27 Desember 1679, Benteng pertahanan terakhir Trunojoyo dikepung 3000 prajurit VOC, Aru Palaka (Makassar) dan Mataram, Trunojoyo menyerah di lereng Gunung Kelud.

Pada waktu perang Trunojoyo ini, Madiun di bawah Bupati Kyai Irodikromo atau Pangeran Adipati Balitar (1645-1677) kemudian digantikan putranya Pangeran Tumenggung Balitar Tumapel (1677-1703). Menurut catatan VOC , dalam perang ini rakyat Madiun  bersikap statis walaupun dalam hatinya mereka lebih memihak perjuangan Trunojoyo melawan Susuhunan Amangkurat II yang bersekutu dengan VOC. Dukungan rakyat Madiun terhadap Trunojoyo hanya berupa dukungan moral dan logistik pada  pasukan Trunojoyo yang berlindung di wilayah Madiun.

Tanggal 5 Nopember 1678, pasukan Amangkurat II dengan jumlah besar yang terdiri dari Prajurit Makassar, Malaya, Ambon dan juga Jawa setelah singgah di Desa Klagen Gambiran kemudian berkemah di pinggir Kali Madiun di Desa Kajang. Disini pasukan Belanda dibawah Kapten Tack bergabung. Hari berikutnya mereka meneruskan pengejaran terhadap Trunojoyo ke timur, di Desa Tungkur (saradan)  Pasukan Trunojoyo mengadakan perlawanan sengit  hingga pasukan Mataram terpaksa bermalam di Caruban.
Tanggal 17 Nopember 1678 , pasukan gabungan ini menyeberangi sungai Brantas untuk masuk ke wilayah pertahanan Trunojoyo di Kediri.

Untung Suropati adalah pelarian dari Banten, karena telah menghancurkan Pasukan Kuffeler yang menjemput Pangeran Purbaya ke Benteng Tanjungpura. Dalam pelariannya Untung Suropati mengantar istri Pangeran Purbaya dari Banten ”Gusik Kusuma” pulang ke Kartasura. Di Kartasura Suropati di terima baik oleh Sri Susuhunan Amangkurat II. Pebruari 1686 Kapten Francois Tack terbunuh oleh Suropati di halaman istana Kartasura, ketika tentara VOC akan menangkap Suropati. Karena takut pada VOC, Amangkurat II merestui Suropati yang di bantu Patih Nerangkusuma (ayah Gusik Kusuma) pergi ke timur untuk merebut Kabupaten Pasuruan (Bupati Anggajaya). Dalam hal ini rakyat Madiun mendukung Untung Surapati baik berupa harta-benda maupu bantuan prajurit Madiun. Maka VOC mendapat hambatan yang serius ketika melakukan pengejaran Pasukan Surapati ke timur melewati wilayah Madiun. Maka dengan demikian secara langsung Madiun ikut berperang melawan Kompeni Belanda, banyak pemimpin Madiun yang menjadi senopati perang melawan tentara VOC, diantaranya Sindurejo (kemudian menetap di Ponorogo), Singoyudo kemudian menetap dan menjadi cikal bakal Dusun Candi, Bagi Kecamatan Sawahan. Pertempuran di Madiun banyak memakan korban pihak tentara VOC yang pimpin Kapten Zaz.

Tahun 1703 sepeninggal Sri Susuhunan Amangkurat II, terjadi perang suksesi Jawa I (1704-1708), yaitu perang perebutan kekuasaan Kartasura antara Amangkurat III (Sunan Mas) dengan pamannya yaitu, Pangeran Puger. Pangeran Puger kemudian pergi ke Semarang, beliau disana diangkat sebagai Susuhunan oleh para bangsawan dan Pemerintah Belanda.

Bupati Madiun Pangeran Tumenggung Balitar Tumapel wafat karena usia tua, putri sulungnya Raden Ayu Puger menggantikan kedudukan Bupati Madiun, beliau juga membantu mengirim prajurit-prajurit Madiun untuk membantu perjuangan Suropati. Tahun 11 September 1705 suami Bupati Madiun, Pangeran Puger memasuki istana Kartasura, dinobatkan menjadi raja Mataram Kartasura dengan gelar Sri Susuhunan Paku Buwono I, tentunya Raden Ayu Puger mengikuti suaminya bertahta di Kartasura, sebagai penggantinya ditunjuklah saudaranya bernama Pangeran Harya Balitar menjadi Bupati Madiun. Pada saat itu perang Surapati beralih ke timur, di Pasuruan yang telah di rebut Untung Surapati dan menduduki tahta Bupati Pasuruan dengan gelar Tumenggung Wiranegara. Untuk mengurangi jatuhnya korban, Susuhunan Paku Buwono I memerintahkan Kabupaten Madiun untuk menghentikan perlawanan. Namun sudah terlanjur banyak korban dari Madiun, diantaranya Kyai Ronggo Pamagetan, Tumenggung Surobroto, dan Pangeran Mangkunegara dari Caruban.

Tahun 1705 Pangeran Sunan Mas (Amangkurat III) diusir dari istana Kartasura dan bergabung dengan Untung Surapati di Pasuruan.  Tahun 1706 terjadi pertempuran hebat di Bangil, akhirnya Benteng Surapati dapat dihancurkan prajurit gabungan, Untung Surapati tewas tanggal 17 Oktober 1706. Peperangan masih dilanjutkan oleh putra Suropati yaitu Raden Pengantin, Surapati dan Suradilaga yang di bantu prajurit dari Bali sampai tahun 1708, yang akhirnya banyak melarikan diri bergabung dengan Bupati Jayapuspita di Surabaya, Amangkurat III tertangkap dan di buang ke Srilangka. Setelah perang selesai, iring-iringan prajurit gabungan Kartasura dan VOC kembali melalui Kertosono, Caruban, Madiun, Ponorogo, Kedawung dan sampai di Kartasura.

Setelah perang Trunojoyo dan Suropati, selama hampir 40 tahun keadaan Madiun aman dan tentram, VOC tidak mau ikut campur urusan pemerintahan di Kabupaten Madiun. Bupati yang berkuasa pada waktu itu adalah Pangeran Harya Balitar, dilanjutkan Tumenggung Surowijoyo dan Pangeran Mangkudipuro hingga sampai masa Palihan Nagari.   


Peran Madiun pada Masa Palihan Nagari  Surakarta dan Jogjakarta

Palihan Negari atau sering disebut Perang Suksesi Jawa III, yaitu ketika  terjadi peperangan antara Susuhunan Paku Buwono II dan III yang di bantu pasukan VOC  melawan Pangeran Mangkubumi yang di bantu Raden Mas Said (terkenal dengan Pangeran Samber nyawa),  Perang ini berawal dari ikut campurnya VOC pada Pemerintahan Mataram Surakarta, yang di bantu oleh salah satu anteknya ”Patih Pringgoloyo” yang mengakibatkan  di cabutnya hak Pangeran Mangkubumi atas tanah Sukowati ini oleh Paku Buwono II yang kemudian diberikan pada Patih Pringgoloyo, semuanya memang bagian dari politik ”devide et impera” Kompeni Belanda. Peperangan  dimulai  11 Desember 1749 sampai dengan 13 Pebruari 1755, para ahli sejarah menyebut perang sebagai Perang Suksesi Jawa III. Dalam perang ini rakyat Jawa Timur termasuk Mediun medukung penuh perjuangan Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said. Walaupun Mediun merupakan wilayah dari Kasunanan Surakarta Hadiningrat, dan yang menjadi Bupati pada waktu itu adalah Pangeran Mangkudipuro yang merupakan Bangsawan dari Surakarta.

Pangeran Mangkudipuro (1725 – 1755) berkedudukan di  Istana Kranggan, selaku Bupati Wedono membawahi 14 bupati Mancanegara Timur memperkuat pertahanan di wilayah Brangwetan, sedangkan yang memegang pemerintahan sehari-hari diserahkan kepada seorang Patih sebagai pejabat Bupati Mediun, yaitu Raden Tumenggung Mertoloyo ( 1726-1749)

Gubernur Jendral Jacob Mossel yang berkuasa di Bumi Nusantara (1750-1761) menugaskan Jendral Van Hogendorf untuk mengadakan perundingan dengan para pemimpin peperangan, dengan bantuan Patih Pringgoloyo (patih Surakarta) Jendral Van Hogendorf berunding dengan Pangeran Mangkubumi tanpa sepengetahuan Raden Mas Said.

Raden Mas Said alias Pangeran Surjokusumo Prang Wadono, Pangeran Mangkudipuro dan Tumenggung Mertoloyo yang merupakan Wedono Mancanegara Timur dan Bupati Mediun tidak tahu-menahu pendekatan licik yang dilakukan Kompeni. Mereka terus menyusun kekuatan dan bertempur melawan Kompeni dan Prajurit Paku Buwono III, Raden Mas Said dendam karena ayahnya yang bernama Pangeran Mangkunegara ( saudara Susuhunan Paku Buwono II ) diasingkan oleh Belanda ke Sri langka.

Pada Hari Kamis, 13 Pebruari 1755, terjadilah perjanjian Gianti   antara Pangeran Mangkubumi dengan Kompeni Belanda. Salah satu isinya adalah Negara Mataram di bagi dua, dan Pangeran Mangkubumi diakui sebagai Sultan Jogjakarta bergelar ”Hamengku Buwono  Senapati ing Alaga Abdul Rachman Sayidin Panatagama Kalifatolallah”  dan berkuasa atas separoh dari wilayah pedalaman Kerajaan Mataram Islam (Surakarta) termasuk Kabupaten Mediun dan sekitarnya.

Walaupun Pangeran Mangkubumi telah bertahta di Jogjakarta namun Bupati Madiun Pangeran Mangkudipuro tetap tidak menghiraukan isi Perjanjian Gianti, terbukti dengan pemboikotan Mangkudipuro dalam penyerahan hasil bumi pada Pemerintahan Sultan Hamengku Buwono I. Secara kebetulan Kabupaten Sawo (Ponorogo) yang merupakan bagian dari kekuasaan kerajaan Jogjakarta ( oleh Jogja dikenal sebagai kukuban ing sak wetane Gunung Lawu ) ada usaha untuk memisahkan diri (mbalelo) dari Kerajaan Jogjakarta, kemudian Sri Sultan Hamengku Buwono I mengutus Bupati Wedono Madiun, Pangeran Mangkudipuro untuk menangkap Bupati Sawo, namun karena Pangeran Mangkudipuro setengah hati dalam melakukan tugasnya, maka beliau terluka dan kalah dalam peperangan, hal ini membuat Sri Sultan marah, maka kedudukan Wedono Bupati Mancanegara Timur pun dilepas dan  Pangeran Mangkudipuro disingkirkan dengan diberi kedudukan sebagai Bupati di Caruban. Pengganti Mangkudipuro diangkatlah seorang panglima perang tangguh ”Raden Prawirosentiko” sebagai Bupati Mediun dan merangkap sebagai Wedono Bupati Mancanegara Timur, dengan gelar Pangeran Ronggo Prawirodirjo I dan masih menempati Istana lama di Kranggan. Tahun 1784 Ronggo Prawirodirjo I wafat dan dimakamkan di Pemakaman Taman yang kemudian oleh Sultan Hamengku Buwono ditetapkan sebagai Tanah Perdikan. Raden Mangundirjo putra dari Ronggo Prawirodirjo I, naik tahta menggantikan ayahnya sebagai Bupati Wedono Mancanegara Timur bergelar Ronggo Prawirodirjo II (1784-1797) sebagai bupati ke 15. selain berkedudukan di Istana lama Kranggan beliau juga membangun kembali Istana Wonosari (Kuncen) sebagai Istana Bupati Mediun yang baru,

Bupati ke 16 adalah Ronggo Prawirodirjo III (1797-1810) putra dari Ronggo Prawirodirjo II, beliau juga menantu Sultan Hamengku Buwono II atau suami dari  Gusti Kanjeng Ratu Maduretno, di samping menjadi bupati beliau juga sebagai penasehat Hamengkubowono II bersama Adipati Danurejo II dan Tumenggung Sumodiningrat. Ada 14 Bupati Brang wetan yang berada di bawah pengawasannya, Beliau berkedudukan di tiga Kraton yaitu Jogjakarta, Maospati dan Wonosari.  Ronggo Prawirodirjo III gugur saat perang melawan tentara Belanda di  Kertosono (17-12-1810), kemudian dimakamkan di pemakaman Banyu Sumurup, Imogiri. Tahun 1957 oleh Sultan Hamengku Buwono, Ronggo Prawirodirjo dimakamkan kembali di Pemakaman Giripurno, Gunung Bancak beserta Permaisurinya yaitu GKR Maduretno dan dinyatakan  sebagai pejuang perintis melawan penjajahan Belanda.

Pada masa kepemimpinan Ronggo Prawirodirjo II, lahir pahlawan nasional putra Madiun yang bertugas sebagai senopati perang Pangeran Diponegoro, yang bernama Ali Basah Sentot Prawirodirjo.

Perlawanan Rakyat Madiun terhadap Belanda

Pangeran Ronggo Prawirodirjo III termashur keperwiraanya, taat beribadah dan sangat anti terhadap Kolonial Belanda. Beliau memperistri Putri Sultan Hamengku Buwono II, yaitu Gusti Kanjeng Ratu Maduretno. Kabupaten Mediun pada waktu Pemerintahan Ronggo Prawirodirjo III  berpusat di Maospati, namun karena kesibukannya sebagai penasehat Sultan maka beliau sering menetap di Kraton Jogjakarta. Didalam Kraton Kasultanan sendiri terjadi perseteruan antara Ronggo Prawirodirjo III di bantu Tumenggung Sumodiningrat melawan Adipati Danurejo II yang mengantek pada Belanda.

Sejak 31 Desember 1799, Kekuasaan VOC dibubarkan, dan 1 Januari 1880 digantikan dengan ”Pemerintah Hindia Belanda” yang dipimpin oleh Mr.Willem Daendels yang berpangkat Gubernur Jenderal. Pada masa ini terjadilah perselisihan antara  Willem Daendels dengan Ronggo Prawirodirjo III, yang diawali dari  permintaan tata tertib upacara yang di tetapkan Daendels, yaitu dalam upacara pisowanan di Istana Jogjakarta, Residen Belanda dalam menghadap sultan saat masuk melalui alun-alun utara dengan naik kereta dan di kawal pasukan dengan payung kebesaran dan duduk sejajar dengan sultan, serta harus mempersembahkan minuman, karena dianggap sebagai perwakilan Negeri Belanda. Dengan tata tertib tersebut, Ronggo Prawirodirjo III sebagai penasehat sultan merasa terhina, dan menyatakan tidak senang terhadap Belanda, terutama kepada Patih Danurejo II yang dipandang sebagai otak kekacauan  yang dilakukan Belanda didalam Istana Jogjakarta.

Perselisihan yang paling hebat terjadi saat, Daendels menetapkan hutan-hutan di Jawa termasuk wilayah Madiun menjadi milik Pemerintah Belanda, Hutan di wilayah Madiun di tebang dan di angkut ke Surabaya untuk membuat 20 kapal perang Belanda.  
Bersamaan dengan itu, di luar istana banyak terjadi kerusuhan-kerusuhan yang menurut Belanda, semuanya terjadi atas perintah Bupati Madiun. Kerusuhan itu diantaranya terjadi di wilayah Ponorogo yang merupakan wilayah Kasunanan Surakarta. Kemudian Perampokan dan pembunuhan yang dilakukan Demang Tirsana ”Tirtowijoyo” juga dituduh sebagai kaki tangan Ronggo Prawirodirjo III. Willem Daendels minta kepada Sri Sultan agar Bupati Madiun Ronggo Prawirodirjo III beserta kaki tangannya yang dianggap sudah menimbulkan kekacauan agar diserahkan kepada Belanda untuk mendapat hukuman, melalui Van Broom Belanda menyampaikan 4 tuntutan, yaitu :
1.      Sultan agar menerima upacara baru yang sudah ditetapkan Daendels.
2.      Mengembalikan Raden Danurejo II sebagai Patih Kerajaan.
(semula dipecat karena berpihak pada Belanda)
3.      Memberhentikan jabatan Patih Raden Tumenggung Notodiningrat. (karena beliau dianggap membahayakan Belanda)
4.      Memanggil Bupati Ronggo Prawirodirjo III, untuk menghadap ke Bogor supaya minta ampun kepada Gubernur Jendral.  


Perlawanan Ronggo Prawirodirjo III terhadap Pemerintah Belanda

Karena Sri Sultan Hamengku Buwono II tidak mengindahkan tuntutan Daendels diatas, maka Istana Jogja dikepung 1500 pasukan Belanda dengan persenjataan lengkap, hingga akhirnya tuntutan tersebut berangsur-angsur dilaksanakan oleh Sultan. Dengan dipenuhinya tuntutan tersebut maka Ronggo Prawirodirjo III memilih meninggalkan istana Jogjakarta kembali ke Maospati dan mengadakan perang gerilya terhadap Belanda. Beliau menyerukan ajakan kepada semua rakyat Mancanegara Timur dan masyarakat Tionghoa dengan menggunakan gelar baru ”Susuhunan Prabhu ing Alogo” dan Patih Madiun Tumenggung Sumonegoro mendapat gelar ”Panembahan Senopatining Perang”

Pemberontakan Bupati Madiun  ini mendapat perhatian serius dari Daendels, dengan ancaman penggantian Sultan oleh Belanda, maka dengan terpaksa Sri Sultan Hamengku Buwono II mengirim pasukan bersama Belanda untuk menangkap Ronggo Prawirodirjo III, namun sampai tiga kali ekspedisi, Prajurit Jogjakarta dan Belanda mengalami kekalahan. Barulah Desember 1810 dengan panglima perang Pangeran Dipokusumo (saudara Pangeran Diponegoro) mampu menduduki istana Maospati, Madiun. Pada 17 Desember 1810 terjadi pertempuran dahsyat di Desa Sekaran Kertosono, hingga Pangeran Dipokusumo bisa langsung berhadapan dengan Ronggo Prawirodirjo III, dengan tombak sakti ”Kyai Blabar” Ronggo Prawirodirjo III bertempur melawan Dipokusumo.

Dalam pertempuran ini terjadi sebuah konflik bathin pada diri Ronggo Prawirodirjo III, yang di hadapi sekarang bukanlah Belanda tetapi saudara sendiri dan keberlangsungan tahta Sultan Hamengku Buwono II, akhirnya dengan berat hati Raden Ronggo memilih mati dengan pusakanya sendiri ”Tombak Kyai Blabar” Dalam versi Babad : karena Pangeran Dipokusumo diperintahkan untuk membawa hidup atau mati, atas permintaanya sendiri beliau dibunuh dengan tombak Kyai Blabar oleh Pangeran Dipokusumo dalam perkelahian pura-pura. Demikianlah Raden Ronggo Prawirodirjo III, Pahlawan Madiun menemui ajalnya sebagai korban Daendels dan antek-anteknya ”Patih Danurejo II” dengan politik”Devide et impera”   
Untuk mengisi jabatan Bupati dan Wedono Mancanegara Timur dan atas jasanya maka diangkatlah Pangeran Dipokusumo oleh Sultan Hamengku Buwono II untuk mengisi jabatan tersebut tahun 1810-1822. Politik pemerintahanya masih melanjutkan politik Ronggo Prawirodirjo III dengan tunduk sepenuhnya pada Jogjakarta dan tidak menuruti sepenuhnya permintaan Belanda.



Masa Perang Diponegoro di Madiun

Bupati Madiun Pangeran Raden Ronggo Prawirodiningrat adalah putra ke enam Ronggo Prawirodirjo III dengan ibu suri GKR Maduretno, saudaranya kandungnya ada sebelas, yakni RA Prawironegoro, RA Suryongalogo, RA Pangeran Diponegoro, RA Suryokusumo, Raden Adipati Yododiningrat (Bupati Ngawi), Raden Ronggo Prawirodiningrat sendiri ( Bupati Madiun), RA Suronoto, RA Somoprawiro, RA Notodipuro, dan RA Prawirodilogo. Sedangkan dari ibu selir putri asli Madiun, lahirlah Pahlawan Nasional Raden Bagus Sentot Prawirodirjo. Beliau sejak kecil hidup dilingkungan istana Jogjakarta.

Pada masa pemerintahan Ronggo Prawirodiningrat ini, meletus perang Diponegoro dan rakyat Madiun dan sekitarnya dari semua golongan mendukung perlawanan Pangeran Diponegoro terhadap pemerintahan Belanda. Dari catatan Kapten Inf. P.J.F. Louw dan Kapten Inf. E.S. De Klerck menyatakan sebagai berikut :
Daerah Madiun dan sekitarnya yang ikut berperang adalah :
- Maospati
(tempat Bupati Wedono Madiun yang memegang komando tertinggi wilayah Mancanegara Timur )
- Wonorejo
- Kranggan atau Wonokerto
- Muneng dan Bagi
- Keniten (Ngawi)
- Magetan ( terdiri dari 3 kabupaten)
- Bangil (Ngawi)
- Purwodadi (Magetan)
- Gorang-gareng (terdiri dari 2 kabupaten)
- Ponorogo ( terdiri dari 6 kabupaten)
- Caruban
- Lorog ( Pacitan)
- Panggul (Pacitan) 

Pada waktu permulaan perang , bupati di wilayah Madiun yang memimpin perang sebagai Panglima daerah sebagai berikut :
- Raden Mas Tumenggung Prawirodirjo ( saudara sepupu Pangeran Diponegoro )
- Raden Mas Tumenggung Prawirosentiko, Bupati kepala II di Tunggul/ Wonokerto
- Raden Mas Tumenggung Surodirjo, Bupati Keniten
- Raden Mas Tumenggung Yudoprawiro, Bupati Maospati
- Raden Mas Tumenggung Yudokusumo, Bupati Muneng
- Raden Mas Tumenggung Surodiwiryo, Bupati Bagi
- Raden Ngabehi Mangunprawiro, Bupati Purwodadi

Pemimpin peperangan yang berasal dari Madiun ada dua orang yaitu : Mas Kartodirjo dan Raden Tumenggung Mangunprawiro, putra Tumenggung Mangunnegoro yang telah gugur dalam medan perang, selaku panglima perang Pangeran Diponegoro. Awal perang teradi di Kota Ngawi, Kawuh, Gerih dan Kudur Bubuk semuanya di perbatasan Kabupaten Madiun.

Van Lewick, staf diplomatik Belanda berusaha untuk mengadakan perdamaian dengan mengundang Bupati-bupati di wilayah Madiun, dengan iming-iming tertentu, diharap semua Bupati tidak membantu Perang Diponegoro dan mengakui pemerintahan Hindia Belanda. Usaha Van lewick ini gagal karena mereka tetap menghormati sikap Bupati Wedono Madiun.

Jalannya peperangan di wilayah Kabupaten Madiun, diantaranya sebagai berikut :
Tanggal 13 Nopember 1828, pasukan Belanda berhasil merebut Kota Ngawi dengan pimpinan Kapten Theunissen Van lowick, kemudian pasukan Madiun bergeser ke selatan Kota Ngawi, namun akhirnya dikepung Pasukan Belanda yang dibantu Prajurit Kabupaten Jogorogo (Kabupaten wilayah Surakarta) dan pasukan Madiun berhasil di kacaukan, sekitar 60 prajurit gugur. Tahun 1825, belanda mendirikan Benteng stelsel di Kota Ngawi.
Di Pacitan Peperangan dipimpin oleh Bupati Mas Tumenggung Joyokarijo, Mas Tumenggung Jimat dan Ahmad Taris, akan tetapi akhir Agustus 1825 daerah Pacitan berhasil dikuasai Belanda. Bupati Joyokarijo di pecat, sedang Tumenggung Jimat dan Ahmad taris ditangkap yang nasibnya tidak diketahui. Sebagai bupati baru, diangkatlah oleh Belanda Mas Tumenggung Somodiwiryo, akan tetapi tidak lama bertahta sebab 9 Oktober 1825 diserbu oleh pasukan Madiun yang dipimpin oleh Raden Mas Dipoatmojo putra Diponegoro sendiri dan berhasil membunuh bupati baru tersebut. Namun akhirnya awal Desember 1825 seluruh pasukan Madiun di Pacitan berhasil dipecah belah oleh Belanda, hingga Pacitan sepenuhnya di kuasai Belanda.

Setelah pertahanan di Ngawi jatuh ke tangan tentara Belanda, prajurit Madiun kembali memusatkan pertahanan di Ibukota Wonorejo, Madiun. Dibawah Kapten Inf. Rosser yang membawa pasukan dari Madura, Benteng Ngawi, dan dibantu Prajurit Mangkunegaran sedangkan dari selatan prajurit Kasunanan Surakarta di Ponorogo. Terjadilah perang hebat, pada tanggal 18 Desember 1825, hingga akhirnya pasukan Madiun berhasil dikalahkan, Pangeran Serang beserta istrinya gugur sebagai kusuma bangsa. Beliau adalah menantu Pangeran Mangkudiningrat yang anti Inggris, akhirnya dibuang oleh Raffless ke Bengkulu, sedangkan Pangeran Serang sendiri adalah keturunan Sunan Kalijogo dari Kadilangu, Demak.

Tanggal 9 Januari 1826 Panglima Daerah Mas Kartodirjo berhasil di tangkap dan terbunuh. Walaupun demikian beberapa Bupati masih setia dan tetap bergabung dengan Pangeran Diponegoro. Secara formal sejak 9 Januari 1826, Bupati wedono Mancanegara Timur, Ronggo Prawirodiningrat sudah dibawah kekuasaan Belanda, beliau ditangkap dan dibawa ke benteng Ngawi. Tahun 1827 didirikan benteng Belanda beserta satu detasemen tentara dengan senjata lengkap di dekat Istana Bupati Wedono Madiun Wonorejo di Desa Kartoharjo. Juni tahun 1828 masih ada pemberontakan-pemberontakan kecil di wilayah Madiun dengan pimpinan Raden Sosrodilogo yang akhirnya tertangkap 3 Nopember 1828

Sekarang Bupati Madiun berkedudukan di Pangongangan yaitu ditengah Kota Madiun, sekarang di Komplek Perumahan Dinas Bupati Madiun. Disinilah seterusnya Bupati Madiun sampai sekarang menjalankan pemerintahan, sedangkan makamnya ada di Kelurahan Taman (dulu Desa Perdikan). Disini disemayamkan pahlawan-pahlawan pendiri Kabupaten Madiun pada zaman lampau, sehingga kepada orang yang dipercaya menjaga/merawat makam tersebut diberikan hadiah satu wilayah Pedesaan  sebagai tanah perdikan serta hak untuk memungut hasilnya, bersifat Orfelijik (turun tumurun).




Nama Para Bupati / Wedono Mancanegara Timur di Madiun

    Kyai / Ki Ageng Reksogati 1518 - 1568               
    ( Perwakilan Demak /  Penyebar Agama Islam )
1.      Pangeran Timoer  1568 -1586 
( disebut juga Panembahan Rama atau Ronggo Jumeno)
2.      Raden Aju Retno Djumilah 1586 - 1590 
3.      Raden Mas Jolang 1590 - 1591 
( dibawah Mataram nama Purabaya dirubah menjadi Mbediun /Mediun )
4.      Raden Mas Soemekar 1591 - 1595 
5.      Pangeran Adipati Pringgolojo 1595 - 1601 
6.      Raden Mas Bagoes Petak 
( Mangkunegoro I )1601 - 1613
7.      Pangeran Adipati Mertolojo
( Mangkunegoro II ) 1613 – 1645
8.      Pangeran Adipati Balitar  Irodikromo     
( Mangkunegoro III ) 1645 - 1677  ( terjadi perang Trunojoyo)
9.      Pangeran Toemenggoeng Balitar Toemapel 1677 - 1703
10.  Raden Ajoe Poeger 1703 - 1704
( terjadi perang saudara antara Pangeran Puger dengan Amangkurat III,    
sehingga RA Puger mengikuti suaminya ke Kraton Kartasura )
11.  Pangeran Harjo Balater 1704 - 1709
(Sebagai saudara dan Menggantikan RA Puger)
12.  Toemenggoeng Soerowidjojo 1709 – 1725
13.  Pangeran Mangkoedipoero 1725 - 1755
( terjadi  Palihan Nagari Jogjakarta dan Surakarta, Madiun di  bawah Pemerintahan Jogjakarta, kemudian diangkatlah Raden Ronggo Prawiro Sentiko oleh Hamengku Buwono I  sebagai Bupati Madiun  bergelar Ronggo Prawirodirjo I, berkedudukan di Istana  Kranggan )
14.  Raden Ronggo Prawirodirdjo I  1755 - 1784
15.  Pangeran Raden Mangundirdjo
(Ronggo Prawirodirdjo II ) 1784 - 1795  
(Berkedudukan di Istana Kranggan dan Wonosari )
16.  Pangeran Raden Ronggo Prawirodirdjo III  1795 – 1810
(Berkedudukan di Istana Wonosari, Maospati dan Jogjakarta)
17.  Pangeran Dipokoesoemo 1810 - 1820
18.  Raden Ronggo Prawirodiningrat 1820 - 1822
( beliau saudara lain ibu dari Bagus Sentot Prawirodirjo )
19.  Raden Toemenggoeng Tirtoprodjo 1822 - 1861
20.  Raden Mas Toemenggoeng Ronggo Harjo Notodiningrat 1861 - 1869
( karena kekuasaan Belanda, Bupati Notodiningrat hanya  menjadi Kepala Kantor Pemerintahan Kolonial / Rijkbestuur )
21.  R.M. Toemenggoeng Adipati Sosronegoro 1869 - 1879
( sebagai Rijsbestuur )
22.  Raden Mas Toemenggoeng Sosrodiningrat 1879 - 1885
( Belanda membagi Karesidenan Madiun menjadi lima regenschappen yang masing-masing punya kedudukan yang sama, yaitu Madiun, Magetan, Ngawi , Ponorogo dan Pacitan )
23.  Raden Arjo Adipati Brotodiningrat 1885 - 1900
24.  Raden Arjo Toemenggoeng Koesnodiningrat 1900 – 1929
( muncul sekolah-sekolah formal di desa yang dikenal sebagai   Volk School selanjutnya disebut Vervolk School selam 2 tahun, tahun 1912 dibuka di Kertohardjo yaitu Sekolah Kartini. Tahun 1918, Kabupaten Madiun di pisah dengan wilayah perkotaan setelah adanya Gemeente Ordonatie berdasr Peraturan Pemerintah 20 Juni 1918. )
25.  R.M. Toemenggoeng Ronggo Koesmen 1929 - 1937
26.  R.M. Toemenggoeng Ronggo Koesnindar 1937 - 1953
( Jepang masuk ke Madiun )
27.  Raden Mas Toemengoeng Harsojo Brotodiningrat 1954-1956
28.  Raden Sampoerno 1956 – 1962
( sebagai Pejabat Bupati )
29.  Kardiono, BA 1962 – 1965
( Partai Komunis Indonesia mendapat suara terbanyak dan calon Bupatinya R. Kardiono )
30.  Mas Soewandi 1965 – 1967
31.  H. Saleh Hassan 1967 - 1973
32.  H. Slamet Hardjooetomo 1973 - 1978
33.  H. Djajadi             1978 - 1983
34.  Drs. H. Bambang Koesbandono  1983 - 1988
35.  Ir. S. Kadiono 1988 - 1998
36.  R. H. Djunaedi Mahendra, SH. M.Si 1998 – 2008
37.  H. Muhtarom, S.Sos 2008-sekarang


Sebelum meletus Perang Diponegoro, Madiun belum pernah di jamah oleh orang-orang belanda atau eropa lainnya. Namun dengan berakhirnya Perang Diponegoro, belanda menjadi tahu potensi daerah Madiun. Terhitung mulai tanggal 1 Januari 1832, Madiun secara resmi dikuasai oleh pemerintah Hindia Belanda dan dibentuklah suatu tatanan pemerintahan yang berstatus karesidenan dengan ibu kota di Desa Kartoharjo (tempat istana Patih Kartoharjo) yang berdekatan dengan istana Kabupaten Madiun di Desa Pangongangan.

Sejak saat itu mulailah berdatangan Bangsa Belanda dan Eropa lainnya, yang berprofesi dalam bidang perkebunan dan perindustrian, yang mengakibatkan munculnya berbagai perkebunan, yaitu perkebunan tebu dengan pabrik gulanya di PG. Pagotan, PG. Kanigoro, PG. Rejoagung, PG. Purwodadie di Glodok, PG.Soedono di Geneng, PG. Redjosarie di Kawedanan, perkebunan teh di Jamus dan Kare, perkebunan kopi di Kandangan Kare, perkebunan tembakau di Pilang Kenceng dan lain-lain. Mereka bermukim di dalam kota di sekitar Istana Residen Madiun.

Semua warga Belanda dan Eropa yang bermukim di Kota Madiun, karena status yang merasa lebih superior dari pada penduduk pribumi, mereka tidak mau diperintah oleh Pemerintah Kabupaten Madiun. Selanjutnya untuk melaksanakan segregasi (pemisahan) sosial, berdasarkan perundang-undangan inlandsche gementee ordonantie, oleh Departemen Binenlandsch Bestuur, dibentuk Staads Gementee Madiun atau Kotapraja Madiun berdasarkan Peraturan Pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 20 Juni 1918, dengan berdasarkan staatsblaad tahun 1918 nomor 326.

Pada awalnya, walikota (burgemeester) dirangkap oleh asisten residen merangkap sebagai voor setter, yang pertama yaitu Ir. W. M. Ingenlijf, yang selanjutnya diganti oleh Demaand hingga tahun 1927. Setelah tahun 1927 sampai dengan sekarang, urut-urutan walikota yang pernah memimpin Kota Madiun adalah sebagai berikut :
1. Mr. K. A. Schotman
2. Boerstra
3. Mr. Van dijk
4. Mr. Ali Sastro Amidjojo
5. Dr. Mr. R. M. Soebroto
6. Mr. R. Soesanto Tirtoprodjo
7. Soedibjo
8. R. Poerbo Sisworo
9. Soepardi
10. R. Mochamad
11. R. M. Soediono
12. R. Singgih
13. R. Moentoro
14. R. Moestadjab
15. R. Roeslan Wongsokoesoemo
16. R. Soepardi
17. Soemadi
18. Joebagjo
19. Pd. Walikota R. Roekito, BA
20. Drs. Imam Soenardji ( 1968 s.d. 1974 )
21. Achmad Dawaki, BA ( 1974 s.d. 1979 )
22. Drs. Marsoedi ( 1979 s.d.  1989 )
23. Drs. Masdra M. Jasin ( 1989 s.d.  1994 )
24. Drs. Bambang Pamoedjo ( 1994 s.d.  1999 )
25. Drs. H. Achmad Ali ( 1999 s.d.  2004 )
26. H. Kokok Raya, SH, M.Hum ( 2004 s.d.  2009 )
27. H. Bambang Irianto, SH, MM (2009 s.d. Sekarang )




Keadaan Politik, Sosial dan Ekonomi pada Masa Kolonial Belanda di Madiun


Penerapan Politik Kolonial dalam Pemerintahan Kabupaten     

Sejak tahun 1855, pemerintah Belanda mulai mencampuri pemerintahan Bupati-Bupati di Madiun dan sekitarnya, kemudian Pemerintah Hindia Belanda menyusun struktur pemerintahan di Madiun , sebagai berikut :

  1. Residen                       : A. Rutering
  2. Bupati Madiun            : Pangeran Ronggo Prawirodiningrat
  3. Sekretaris Residen      : J.D. Mispolblom Beiyer
  4. Ambtenaar Residen    : CH. Flew
  5. Ambtenaar Klas II      : F. Beiyerink
  6. Ka. Kejaksaan             : Mas Ngabehi Mertodipuro
  7. Ka. Penghulu              : H. Imam Hadjali
  8. Kapt. Urusan Cina      : Tan Ting Kaauw
  9. Letnan Urusan Cina    : Tan Goang Ik
  10. Ka. Pemerintahan Perkotaan   : Dr. M. Groot
  11. Sub Kommisien van Waldadigheid: A.H. Baron De Kock

Daerah-daerah Kabupaten kecil di wilayah sekitar Madiun mulai di hapus. Kekuasaan pemerintahan   kabupaten bukan lagi di tangan Bupati dan bawahannya sebagai wakil Kasultanan Jogjakarta, semua lini telah di kuasai Pemerintah Hindia Belanda. Bupati, wedono, mantri dan bawahannya adalah pegawai biasa, tidak mempunyai hak atas keturunannya, hanya pemerintahan desa (lurah) yang masih di beri kuasa untuk mengangkat staf-stafnya. 

Politik  Ekonomi Monopoli di terapkan oleh Pemerintah Hindia Belanda untuk mengisi kas negara yang sedang kosong, dengan  cara menguasai tanah-tanah perkebunan dan pertanian rakyat yang menghasilkan bahan eksport, yaitu: kopi, gula, nila, tembakau dan kapas. Kewajiban kerja rodi tetap dilaksanakan, yang tidak terkena rodi, sebagai gantinya mereka dipungut pajak, satu gulden  tiap kepala.   

Pada tahun 1911 didirikan Sarekat Islam di Solo sebagai perkembangan bentuk baru dari Sarekat Dagang Islam yang lahir di Kota Solo juga pada dekade pertama abad XXI. Para pendirinya tidak semata-mata untuk mengadakan perlawanan terhadap orang -orang Cina tetapi untuk membuat front melawan semua penghinaan terhadap rakyat bumiputera. Ini merupakan reaksi terhadap krestenings politik (politik pengkristenan) dari kaum Zending, perlawanan terhadap kecurangan-kecurangan dan penindasan oleh pihak ambtenar-ambtenar bumiputera dan eropa.

Penerapan Politik Kolonial Liberal di Madiun

Pelaksanaan politik Ekonomi Monopoli dianggap kurang berhasil menutupi kas dan hutang-hutang pemerintahan Kerajaan Belanda, kemudia Van Den Bosch mencetuskan politik Cultur Stelsel untuk segera menutupi defisit keuangan di Pemerintah Belanda. Pelaksanaanya, rakyat diwajibkan menanam tanaman jenis tertentu, wilayah Karisidenan Madiun, rakyat diwajibkan menanam tebu, nila, tembakau dan kapas. Tebu ditanam di daerah sekitar Kotapraja Madiun, nila di tanam di daerah Caruban, tembakau ditananm di daerah Balerejo dan Moneng, dan kapas ditanam di daerah Kebonsari. Pada pertengahan abad ke 19 tanaman-tanaman tersebut menjadi bahan eksport yang menghasilkan keuntungan yang tak terhingga.
Aturan Tanam Paksa (cultur stelsel), antara lain:
  1. Rakyat petani diwajibkan menyerahkan sebagian tanah pertaniannya untuk ditanami tumbuhan tertentu >< Prakteknya : tanah diminta dengan paksa, yang dipilih tanah yang subur.
  2. Tanah pertanian yang diserahkan meliputi luas separuh bagian luas tanah pertaniannya >< Prakteknya : tanah yang diminta lebih dari separuh, bahkan sampai seluruh desa.
  3. Tenaga penanam disediakan dari orang-orang yang bukan petani >< Prakteknya : tenaga diambil dengan cara rodi, ditempatkan jauh dalam jangka waktu berbulan-bulan
  4. Tanah yang disewakan bebas dari semua pajak
  5. Hasil penanaman, diserahkan kepada pemerintah ditempatkan pada tempat tertentu dengan harga sesuai harga pasar setempat >< Prakteknya : tidak dibeli, hanya di ganti angkutannya saja.
  6. Jika tidak menghasilkan karena kekeliruan petani , akan ditanggung pemerintah Belanda >< Prakteknya : jika tidak menghasilkan, petani diberi sangsi pengulangan penyerahan tanah.

Akan tetapi peraturan yang tampak meringankan rakyat tersebut, dalam pelaksanaanya justru mengakibatkan penderitaan rakyat yang luar biasa.

Pada pertengahan kedua abad ke 19, semua hutang luar negeri Pemerintah Belanda mampu teratasi dan bahkan banyak orang Belanda menjadi yang kaya raya atau kaum kapitalis, akibat adanya politik tanam paksa tersebut.
Kaum kapitalis Belanda mulai ingin menanamkan modalnya di Hindia Belanda, hingga akhirnya Pemerintah Belanda pada tahun 1870, membuka pintu untuk masuknya modal swasta ke tanah Hindia Belanda.
Tahun 1880, mulai banyak orang asing yang menanamkan modalnya di Madiun pada umumnya di bidang pertanian, meliputi tebu, kopi, tembakau dan perkayuan.    

Dalam bidang transportasi pada tanggal 6 Juni 1878, Pemerintah Belanda membuka jalan lalu lintas kereta api di wilayah Madiun dengan rute sebagai berikut :
  1. Lein Spoor Sidoarjo – Mojokerto mulai 16-10-1880
  2. Lein Spoor Mojokerto – Kertosono mulai 25-6-1881
  3. Lein Spoor Kertosono – Kediri mulai 13-8-1881
  4. Lein Spoor Kertosono – Madiun mulai 1-7- 1882
  5. Lein Spoor Kediri – Blitar mulai 16-6-1884

Jalur-jalur Kereta api tersebut mempunyai peranan yang cukup besar bagi perkembangan industri di wilayah Jawa Timur, fasilitas kereta api ini banyak dimanfaatkan untuk perjalanan para pejabat, pengusaha dan tentara Belanda.  

Perubahan arah politik mulai berubah di Kerajaan Negeri Belanda, diawali dengan naik tahtannya Ratu Wilhemina Paulina Maria pada tanggal 31 Agustus 1898, menggantikan ayahnya Raja Wilhem III,  berdasarkan pidato Ratu Wilhemina, maka di Hindia Belanda dilakukan program Trilogi Perbaikan ( Edukasi, Irigasi dan Imigrasi) sebagai politik balas budi (Politik Etis) terhadap tanah jajahan yang telah banyak menghasilkan dan memperkaya Kerajaan Negeri Belanda.


Gerakan Sosial Politik dan Revolusioner
terhadap Kolonial Belanda di Madiun

Sekitar tahun 1870, di Jawa mulai timbul banyak pergerakan-pergerakan sosial yang berlatar belakang protes terhadap ketidak adilan pemerintah kolonial Belanda dan pengaruh-pengaruh asing lainnya, gerakan sosial tersebut diantaranya dikembangkannya ramalan Jayabaya bahwa akan hadirnya Ratu Adil di tanah Jawa yang akan merubah tanah Nusantara menuju zaman keemasan yang adil, makmur, dan sejahtera. Kemudian kepercayaan masyarakat Jawa tersebut diperkuat dengan lahirnya tokoh besar Raden Ngabehi Ranggawarsito pada tahun 1802, seorang Pujangga besar Kraton Kasunanan Surakarta, beliau menciptakan banyak karya sastra yang sangat terkenal hingga kini, salah satunya karya sastra yang berisi ramalan tentang datangnya Zaman Keemasan Tanah Nusantara dan bahkan beliau mampu meramal kemerdekaan Bangsa Indonesia dengan tepat dalam sebuah bait tembang Sinom :

Sangkalane maksih nunggal jamanipun
Neng sajroning madya akir
Wiku Sapta ngesthi Ratu
Adil parimarmeng dasih
Ing kono kersaning Manon

Terjemahannya sebagai berikut :
Jamannya masih sama pada akhir pertengahan jaman.
Tahun Jawa 1877 (Wiku=7, Sapta=7, Ngesthi=8, Ratu=1).
Bertepatan dengan tahun Masehi 1945.
Akan ada keadilan antara sesama manusia.
Itu sudah menjadi kehendak Tuhan

Akibat gerakan sosial seperti diatas, mampu meningkatkan mental rakyat Jawa, mereka percaya akan hadirnya kemerdekaan di tanah Nusantara. Akibatnya banyak bentuk-bentuk pergerakan melawan penjajah baik dalam bentuk protes sosial politik maupun gerakan yang bersifat revolusioner.

Pergerakan sosial politik yang berlangsung lama di Madiun adalah gerakan Samin yang sebelumnya sudah berlangsung di daerah Blora, Pati, Bojonegoro dan sekitarnya mulai tahun 1907. Gerakan ini memang bagian dari Gerakan Samin yang berpusat di Blora yaitu di Desa Bapangan Kulon sekitar 45 km dari Kota Blora, pencetusnya adalah Kyai Samin atau Kyai Samin Surosentiko yang kemudian ditangkap Belanda dan di buang ke Sumatera Barat kemudian meninggal di penjara tahun 1914. Namun gerakan ini tidaklah mati begitu saja, oleh Kyai Engkrek dari Desa Klopoduwur, 10 km dari Kota Blora gerakan ini di kembangkan kembali dan akhirnya sampai meluas ke wilayah Madiun.

Di Daerah Madiun pusat gerakan Samin berada di Desa Ngegong, Kota Madiun, sekitar 3 km dari pusat Kota, di bawah pimpinan Kertotayem atau Kertotaruno. Beliau adalah seorang penjual arak jowo ”arjo” (minuman keras). Pengikutnya adalah kaum petani, buruh dan buruh tani, wilayah penyebarannya mencakup Kecamatan Balerejo, Pilangkenceng, Mejayan, Saradan dan Gemarang. Sesudah tahun 1907 gerakan samin di Madiun mengubah namanya menjadi ”Gerakan DAM (Dadio Opo Mbangkang”  atau WONG DAM, gerakan ini bersifat membangkang (mbalelo) dengan cara memutar balikan perintah. Misalnya: diperintah kerja rodi ”besuk membawa cangkul” maka mereka hanya memanggul cangkul saja, disuruh bayar pajak, mereka menjawab ”ini tanah saya sendiri pemberian Tuhan, kok disuruh bayar pajak” atau waktu membayar  pajak” ini uangnya siapa? Dijawab petugas ”ya uangmu” maka uang itu langsung dibawa pulang lagi. Para tokoh DAM ini sering ditangkap dan disiksa, namun tekad mereka sudah bulat untuk terus membangkang terhadap pemerintah Belanda yang sewenang-wenang.

Dengan gerakan wong DAM ini ternyata cukup ampuh untuk melawan kesewenang-wenangan Belanda, bahkan sampai akhir kekuasaanya di Jawa, Belanda tidak mampu membrantas gerakan dan faham saminisme dan  DAM di Madiun.

Pengikut DAM ini, sampai sekarang masih banyak di wilayah Madiun, dengan ciri mereka suka memakai pakaian serba hitam (baju penadon dan celana dobyoh seperti warok dan ikat kepala hitam ). Namun sekarang mereka rata-rata sudah berusia lanjut dan  tidak mengembangkan ajaran-ajaran DAM lagi, namun kebiasaan mbalelonya  masih sering muncul dalam kehidupan sehari-hari.   

Gerakan revolusioner juga banyak terjadi di wilayah Madiun, diantaranya pada  tahun 1870 di daerah Mlilir terjadi huru-hara pembunuhan terhadap  Bangsa Belanda dan kaki tangannya, berawal dari ketidak puasan terhadap peraturan sewa tanah (cultuur stelsel), gerakan ini di pimpin oleh Raden Sumowidjojo, yang masih kerabat dari Bupati Madiun Raden Mas Tumenggung Ronggo Ario Notodiningrat, pengikutnya para petani di daerah Mlilir, Ponorogo bagian utara, Uteran, dan Kebonsari. Akhirnya Raden Sumowidjojo di tangkap dan tidak diketahui nasibnya.

Di daerah Ponorogo, timbul gerakan anti Belanda dengan mengembangkan slogan ”nggetok walondo” (memenggal belanda) dan ”ngusir kompeni” (mengusir Belanda). Gerakan ini dipimpin oleh Raden Ahmad Suhada dari Kanten Ponorogo. Gerakan ini pun akhirnya lenyap setelah Belanda menindak tokoh-tokohnya.

Di daerah Muneng, tahun 1876 terjadi perampokan-perampokan, yang di rampok hanyalah hartanya orang Belanda dan Cina yang ada di Caruban. Harta hasil rampokan kemudian dibagikan kepada fakir miskin di daerah ini, gerakan ini dipimpin oleh Tirtoredjo, dan akhirnya gerakan ini dapat ditumpas pula, Tirtoredjo ditangkap Belanda dan tidak diketahui nasibnya.




Terbentuknya Pemerintahan Kota Madiun pada masa Kolonial Belanda

Gubernur Jendral sebagai pucuk pimpinan Pemerintah Hindia Belanda dalam pelaksanaan pemerintahan hanya bertugas sebagai pelaksana belaka. Adapun garis besarnya pemerintahan ditetapkan oleh Pemerintah Pusat kerajaan Naderland. Salah satu tugas pemerintahan yang harus diemban Gubernur Jendral adalah hal ekonomi. Pola Ekonomi pemerintah belanda adalah pola ekonomi liberal yang telah digariskan pemerintah pusat kerajaan Naderland, pada prinsipnya adalah pemberian kebebasan oleh pemerintah (penguasa) kepada pelaku-pelaku ekonomi dalam usaha produksi sampai pemasaran didasarkan pada peraturan-peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam arti pemerintah memberikan jaminan keamanan bagi para usahawan agar dapat berusaha secara optimal.

Akhirnya tiba pada suatu kesimpulan bahwa proses desentralisasi pemerintahan dengan dibentuknya pemerintahan kota beserta dengan dewan kota nampak bahwa ada kepentingan kuat dari pemerintah hindia belanda untuk memantapkan bahkan tidak mustahil untuk mempertahankan lestari berkuasa dan menguasai indonesia. Pembentukan Pemerintahan Kota beserta dengan Dewan Kota Madiun di dalam Staatsblad Van Nederlandsch-Indie (Lembaran Negara Hindia Belanda) No. 326 tanggal 20 Juni 1918 oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda  atas nama Ratu Kerajaan Belanda. lembaran negara ini terdiri dari 7 pasal :

Pasal 1
Menunjuk pasal 8 Lembaran Negara No. 137 tanggal 22 Pebruari 1907 bahwa Ibukota Madiun mempunyai wewenang mengatur kebutuhannya sendiri (yang sebelumnya diatur oleh penguasa lain) termasuk mengurus jalan negara di lingkungan kerja Kota Madiun

Pasal 2
Menunjuk ayat 1 pasal 68 a Peraturan kebijaksanaan Pemerintah Hindia Belanda menetapkan :
2.1.  Daerah Madiun dengan Ibukota Madiun
2.2.  Daerah Madiun dengan Ibukota Madiun disebut Kotapraja
        Madiun

Pasal 3
Anggaran belanja Kotapraja Madiun ditetapkan tersendiri dari keuangan umum berjumlah f.28.175,- (dua puluh delapan ribu seratus tujuh puluh lima gulden)

Pasal 4
4.1.      Perkerataapian dan Taram diatur oleh Dinas tersendiri di luar terpisah dari Kotapraja Madiun, keuangan umum Hindia Belanda tidak mengatur terhadap kebutuhan
4.1.1.   Perawatan, perbaikan, pembaharuan dan pelaksanaan pelbagai pekerjaan tentang kendaraan umum, termasuk pekerjaan seperti penanaman lereng, pengerjaan tanggul, tepi jalan dengan batu dan kayu, pintu air, parit dan sumur, dinding pangkalan, juga pekerjaan yang penting lainnya seperti lapangan, taman, memperpanjang got-got penting pada umumnya.
4.1.2.   Penyiraman tanaman dan tepi jalan, mengangkat sampah di sepanjang jalan oleh kendaraan terbuka, jalan-jalan dan taman
4.1.3.   Penerangan jalan
4.1.4.   Penanggulangan kebakaran
4.1.5.   Tempat Pemakaman umum dengan pengertian bahwa biaya untuk pelaksanaan kerja yang diluar kebiasaan akan diberikan bantuan keuangan oleh Negara
4.2.      Dalam kejadian yang istimewa dapat dengan permohonan yang mendapat persetujuan Dewan Kotapraja, pekerjaan dilakukan oleh Negara



Pasal 5
5.1       Pemeliharaan yang mengurus apa yang disebut dan dimaksud pasal 4 berada didalam wilayah Kotapraja Madiun diserahkan kepada Kotapraja Madiun terlepas dari kepemilikannya, demikian juga desa-desa diluar Kotapraja Madiun seperti Desa Mangunharjo dan Desa Sambirejo yang terletak di tepi kiri sungai Madiun tetap dikuasai oleh daerah-daerah pemukiman orang cina dan termasuk pemeliharaan oleh Negara adalah puithis, dengan kewajiban penghuninya untuk menjaga dan mengembalikan dalam keadaan baik apabila terjadi pengrusakan Kotapraja mengawasi tanpa hak kepemilikan atasnmya
5.2.      Jembatan dan saluran air yang terletak dibatas kotapraja berdasar pasal 5.1. diatas, yang penting yang terletak di dalam Kotapraja
5.3.      Gubernur Jendral membebaskan Kotapraja dari kewajiban yang berada dalam pasal 5.1. tentang saluran air yang ditentukan untuk dibebas tugaskan

Pasal 6
6.1.      Untuk Kotapraja Madiun didirikan suatu dewan yang disebut dengan nama Dewan Perwakilan Daerah Kotapraja Madiun.
6.2.      Anggota Dewan berjumlah 13 orang, dengan susunan :
1. 8 (delapan) orang Eropa atau orang lain diluar Eropa yang    
       disamakan kedudukannya
2. 4 (empat) orang pribumi
3. 1 (satu) orang timur asing

Komposisi keanggotaan Dewan Perwakilan Daerah Kotapraja Madiun yang terdiri dari 8 (delapan) orang anggota eropha atau orang lain yang disamakan kedudukannya, 4 orang pribumi dan 1 orang timur asing, oleh karena musyawarah dewan dalam mengambil keputusan berdasar peranggota bukan pergolongan, tetap dewan dikuasai oleh orang belanda.
6.3.      Kepala Pemerintah Kotapraja Madiun adalah Ketua Dewan.

Pasal 7
7.1.      Kecuali menentukan mengenai hal itu dalam peraturan kebijaksanaan pemerintah Hindia Belanda, Surat Keputusan Desentralisasi dan Peraturan Dewan Daerah, berisi lingkungan kerja Kotapraja Madiun pada pasal 5, pengawasan yang dimaksud termasuk kebutuhan pemeliharaan yang diuraikan dalam pasal 4, sejauh mana hal itu tidak harus dibayar oleh Kotapraja Pribumi atau lainnya
7.2.      Kecuali pemenuhan janji terhadap pemerintah dan penguasa lain, dewan mempunyai wewenang mengatur kebutuhan Kotapraja Madiun
7.3.      Keragu-raguan atau perbedaan tentang batas kewenangan tugas pemerintah dari Kotapraja Madiun, dari penguasa lain dan dari Kotapraja Pribumi diputuskan oleh Gubernur Jendral.

Demikian bahwa staatshlad Van Nederlandsch Indie No. 327 tahun 1918 tanggal 20 Juni tentang anggaran tahun pertama. Berdasar data primer pada staatsblad Van Nederlandsch Indie, tahun 1918 No. 326 tanggal 20 Juni dan STVNI tahun 1918 N0. 327 tanggal 2o Juni ditunjang data skunder yang bersifat literer, dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Kotapraja Madiun berdiri pada :
TANGGAL 20 JUNI 1918 , pada saat itu desa-desa mana yang ditetapkan menjadi derah Pemerintahan Kota Madiun tidak tercantum dalam Staatsblad No. 326 tahun 1918 tanggal 20 Juni, Staatblad hanya menyebut dua Desa yaitu Desa Mangunharjo dan Desa Sambirejo yang terleak disebelah kiri sungai Madiun dalam status bukan Desa Daerah Kota Madiun, suatu bentuk pengesahan bahwa kedua Desa tersebut diatas berada dalam wewenang lain di luar Kota Madiun.

Pada Bulan Maret 1942 Kota Madiun diduduki oleh pasukan Jepang dalam kerangka Perang Dunia II (Pemerintah pendudukan Jepang menyebut perang Asia Timur Raya), terdiri dari 12 Desa yaknit :

1. Desa Sukosari                                 7.  Desa Kejuron
2. Desa Patihan                                   8.  Desa Klegen
3. Desa Oro Oro Ombo                       9.  Desa Nambangan Lor
4. Desa Kartoharjo                              10. Desa Nambangan Kidul
5. Desa Pangongangan                        11. Desa Taman
6. Desa Madiun Lor                            12. Desa Pandean

Berdasar pada data dari masa awal pendudukan Jepang di Madiun itulah dapat diketahui bahwa masa hari jadi Pemerintahan Kota Madiun, Desa Daerah Kota Madiun ada 12 Desa. Burgemeester (Walikota) Kepala Pemerintahan Kota Madiun pada masa itu dijabat oleh asisten resident dalam jabatan rangkap berarti disamping menjabat sebagai residen merangkap Walikota.

Pemerintah Kota Madiun didirikan oleh Pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 20 Juni 1918 berlanjut pada masa pendudukan Jepang Maret 1942, bersambung pada masa pemerintahan Republik Indonesia 17 Agustus 1945, terselingi oleh Pemerintahan NICA (Nederlands Indies Civil Administration) 19 Desember 1948 s/d 29 Desember 1949 dan berakhir kembali kedalam pemerintahan Republik Indonesia sejak pengakuan kedaulatan Perjanjian KMB (Konferensi Meja Bundar) tanggal 27 Desember 1949 sampai sekarang.






Perjalanan Pemerintah Kota Madiun Pada Masa Penjajah Jepang


Pada Zaman Jepang daerah ini menjadi Madiun Shi yang diperintah oleh seorang Shi Tjo dan mempunyai wilayah 12 Desa, setelah Proklamasi Kemerdekaan, dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1948, maka Madiun Shi diubah menjadi Kota Besar Madiun dengan wilayah 12 Desa dibawah perintah Walikota. Kemudian demi pemerataan wilayah berdasar UU Nomor 22 tahun 1948 maka menuru Surat Keputusan Nomor 16 Tahun 1950 Kotapraja Madiun diperjuangkan diperluas dengan mendapat tambahan dari Kabupaten Madiun yaitu 8 (delapan) Desa yakni Demangan, Josenan, Kuncen yang semula berstatus seperti Desa Perdikan Taman, Banjarejo, Mojorejo, Rejomulyo, Winongo dan Manguharjo. Kemudian dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 tahun 1957 sebagai pengganti Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948, Kota Besar Madiun berubah menjadi Kotapraja Madiun dengan wilayah 12 desa dan diperintah oleh seorang Walikota, selanjutnya berdasar Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1958 diadakan perubahan batas-batas wilayah Kotapraja Madiun, karena mendapat tambahan wilayah sebanyak 8 (delapan) buah desa dari Kabupaten Madiun, sehingga wilayah Kotapraja Madiun menjadi 20 desa. Pelaksanaan perubahan batas-batas ini diadakan pada hari Sabtu tanggal 21 Mei 1960 bertempat di Kabupaten Madiun oleh Walikota dan Bupati. Kemudian dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965 sebagai pengganti Undang-undang Nomor 1 tahun 1957, Kotapraja Madiun diubah dengan Kota Madya Madiun dengan wilayah 20 desa dan diperintah oleh Walikota Kepala Daerah. Selanjutnya dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah, sebagai pengganti UU Nomor 18 tahun 1965, maka Kota Madya Madiun berubah menjadi Kotamadya Daerah Tingkat II Madiun, dengan wilayah 20 desa dan istilah Walikota Kepala Daerah Kotamadya Madiun diubah menjadi Walikota Madya Kepala Daerah Tingkat II Madiun. Dalam Tahun 1979 atas persetujuan DPRD Kotamadya dan Kabupaten Daerah Tingkat II Madiun, diusulkan pemekaran daerah Kotamadya menjadi 27 Desa/Kelurahan. Dimana terhitung mulai tanggal 18 April 1983 wilayah Kotamadya daerah Tingkat II Madiun yang semula 1 Kecamatan, meliputi 20 Kelurahan dengan luas 22,95 KM2 berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 1982 dan Surat Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Timur Nomor 135.1/1169/011/1983 tanggal 19 Januari 1983 bertambah menjadi 7 desa yang berasal dari Kabupaten Daerah Tingkat II Madiun yakni Desa Ngegong, Sogaten, Tawangrejo, Kelun, Pilangbango, Kanigoro dan Manisrejo, sehingga luas wilayah Kota Madya Daerah Tingkat II Madiun menjadi 33,92 KM2 terdiri dari 3 Kecamatan dengan 20 Kelurahan dan 7 Desa dimana masing-masing kecamatan terdiri dari 9 Kelurahan/Desa.


1. Susunan dan Perkembangan Pemerintahan  
    Kedudukan Jepang

A. Pemerintahan Sementara
Dengan penyerahan tanpa syarat oleh Letnan Jendral H. Terpoorten Panglima angkatan perang Hindia Belanda kepada tentara expedisi jepang di bawah Letnan Jendral Hithosi Imamura pada tanggal 8 Maret 1942 berakhirlah pemerintahan Hindia Belanda dan dengan resmi ditegakan kekuasaan Kemaharajaan Jepang.

Setelah itu diterbitkan Osamu Seirei (UU) No. 1 Pasal 1 tanggal 7 Maret 1942 Isinya : Dai Nippon melangsungkan pemerintahan sementara di daerah-daerah yang ditempati (khususnya di Jawa Sumatra) terlihat pada UU itu pejabat Gubernur Jendral dihapus, berarti istilah wilayah Propinsi telah dihapus tingkat pemerintahan tetap berlaku.

B. Pemerintahan di Daerah berdasarkan Struktur Pemerintahan Pendudukan

Menurut UU No. 27 tahun 1942 tentang aturan pemerintahan daerah dan UU No. 28 tahun 1942 tentang aturan pemerintah Syu (karesidenan) dan Tekubetsu Syi (Kotapraja = Istimewa) menyatakan bahwa UU No. 27 tahun 1942 itu mengatur perubahan tata pemerintahan berupa :

Pemerintahan :                      Pemimpin :
Syu Residen                            Syu Co Residen
Ken Kabupaten                       Ken Co Bupati
Syi Kotapraja                          Syi Co Walikota
Gun Kawedanan                     Gun Co Wedana
Sen Kecamatan                       Sen Co Camat
Ku Desa                                  Ku Co Lurah

Jelas bahwa Gemeente Madiun tidak berubah atau dibubarkan atau dibentuk yang baru, hanya berubah dalam istilahnya yakni dahulu Stadagameente Madiun sekarang menjadi Syi = Kotapraja Madiun sebutan Walikota menjadi Syi Se Kan (=Kan menyebut orangnya)

2. Perkembangan Pemerintah Republik Indonesia

a. Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
1. Tanggal 17 Agustus 1945 jam 10.00 berkumandang saentero   
    dunia pernyataan Kemerdekaan Indonesia

2. Tanggal 18 Agustus 1945 Jam 10.00 berkumandang saentero
    dunia bahwa telah berdiri Negara Merdeka Republik Indonesia.

Alinea kedua ini yang berbunyi : ... hal-hal mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain ... , muatan pemindahan kekuasaan berupa cita negara dan cita-cita hukum yakni : bentuk negara berdaulat dan bentuk hukum nasional, keduanya merupakan norma pertama.
Norma pertama atau norma dasar ini sebagai sumbernya segala aturan hukum lainnya, sehingga tidak mungkin dapat dicari dasar hukum lainnya, sehingga tidak mungkin dapat dicari dasar hukumnya yang berlaku sebelumnya. Timbulnya norma pertama membawa konsekwensi timbulnya negara yang baru dan hukum yang baru dan tidak mungkin akan timbul sebelumnya yakni tatanan pemerintah penjajah Belanda/Jepang.

Akibat dari itu nama Nederlands Indie berubah menjadi Negara Republik Indonesia. Semua perangkat di dalamnya tidak mengalami perubahan. Sesuai hal itu nama Madiun Syi kembali menjadi Kotapraja Madiun.

Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan berdirinya Negara Republik Indonesia. Terbitlah UU. No. 22 tahun 1948, isinya hanya melakukan perubahan-perubahan istilah, bukan pembentukan sesuatu yang baru, maka Madiun Syi menjadi Kotapraja Madiun yang dikepalai oleh seorang Walikota.

Berdasarkan UU. No. 22 tahun 1948 itu dan berdasarkan Surat Keputusan no. 168 tahun 1948 demi pemerintahan daerah, maka perlu ada penataan wilayah daerah/kotapraja baik yang menjelaskan urusan phisik maupun finansiil.
Jelas hal itu bukan pembentukan Kotapraja baru.

b. Pasal 18 UUD 1945 menyatakan bahwa pembagian daerah-daerah Indonesia atas Daerah besar dan kecil dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan UU. dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa.

Pasal tersebut memuat beberapa azas antaranya pemencaran seluas-luasnya kekuasaan untuk mengurus rumah tangga sendiri (otonomi ) kepada daerah-daerah.

Sistem pemerintahan daerah yang masih berlaku sekarang ini dibentuk menurut U.U No. 1 tahun 1957 jo. UU. No. 6 tahun 1959 tentang sistem desentralisasi.

Jenis daerah dapat dibedakan :
- Daerah Swantantra, - Daerah Istimewa, -Daerah Kotapraja.

Daerah-daerah tersebut mempunyai tingkatan :
- Daerah Tingkat I       ( Kotapraja Jakarta/Propinsi )
- Daerah Tingkat II     ( Kotapraja = Kota Besar )
- Daerah Tingkat III    ( Kotapraja Kecil )

Menurut UU tersebut Kotapraja Madiun memenuhi selaku Daerah Tingkat II atau dengan sebutan Kota Besar.
Daerah Kotapraja sebenarnya tidak lain dari pada Daerah Swantantra biasa, hanya wilayahnya meliputi kota-kota saja yang merupakan kelompok kediaman penduduk sekurang-kurangnya sekitar 50.000 jiwa.
Untuk itu berdasarkan pada UU. No. 22 tahun 1948 dan berdasarkan pada Surat Keputusan no. 16 Tahun 1950 demi pemenuhan pemerintahan wilayah, maka Kotapraja Madiun mendapat tambahan dari delapan Desa yakni :
- Demangan                             - Josenan
- Kuncen ( Desa Perdikan )     - Banjarejo
- Mojorejo                               - Rejomulyo
- Winongo                               - Manguharjo
Selanjutnya dengan berlakunya UU no. 1 tahun 1957 sebagai pengganti UU no. 22 tahun 1948, maka Kota Besar Madiun di ubah menjadi Kotapraja.

Berdasarkan UU. No. 24 Tahun 1958 diadakan batas-batas wilayah sehingga Kotapraja Madiun memiliki 20 Desa/Kelurahan. Pelaksanaan perubahan tersebut terjadi pada tanggal : 21 - 5 - 1960.

c. Berdasarkan pada UU. No. 18 Tahun 1965 sebagai pengganti UU. No. 1 tahun 1957, Kotapraja Madiun di ubah menjadi Kotamadya Madiun yang diperintah oleh Walikotamadya sebagai Kepala Daerah, selanjutnya sejak berlakunya UU. No. 5 tahun 1974 tentang pokok-pokok pemerintahan daerah pengganti UU. No. 18 tahun 1965 Kotamadya Daerah Tingkay II Madiun yang diperintah oleh seorang Walikota.

Pada tahun 1979 atas persetujuan DPRD Kotamadya Madiun diusulkan mendapat tambahan tujuh desa dari wilayah Kabupaten Madiun sehingga Kotamadya Madiun memiliki wilayah 27 Desa/Keluraha. Dimana terhitung mulai tanggal 18 - 4 - 1983 wilayah Kotamanya Daerah Tingkat II Madiun yang semula terdiri atas 1 Surat Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Timur No. 135/1169/011/1983 tanggal : 19 - 1 - 1983 bertambah 7 Desa yang berasal dari Kabupaten Daerah Tingkat II Madiun yakni :
- Desa Ngegong
- Desa Sogaten
- Desa Tawangrejo
- Desa Kelun
- Desa Pilangbango
- Desa Kanigoro
- Desa Manisrejo

Sehingga luas wilayah Kotamadya Madiun atau Kotamadya Daerah Tingkat II Madiun menjadi 33.92 KM2 terdiri dari tiga kecamatan yakni, Kecamatan Taman, Kecamatan Manguharjo dan Kecamatan Kartoharjo dengan 20 Kelurahan dan 7 Desa. Masing-masing kecamatan membawahi wilayah 9 desa/kelurahan.

Selanjutnya sejak berlakunya UU. No. 22 Tahun 1989 tentang Pemerintahan Daerah sebagai pengganti UU. No. 5 Tahun 1974 dan UU. No. 5 Tahun 1979, istilah Pemerintah Kotamdaya daerah Tingkat II Madiun berubah menjadi Pemerintah Kota Madiun, akibat dari itu berdasarkan Peraturan Daerah Kota Madiun No. 4 Tahun 2001 tambahan wilayah 7 desa terakhir berubah statusnya menjadi kelurahan.

Demikian perubahan dan perkembangan Gemeente Madioen terakhir menjadi Kota Madiun.



Pemberontakan PKI di Madiun 1948

Latar Belakang Pemberontakan
Dimulai ketika kabinet Hatta melakukan perintah untuk merasionalisasi dan reorganisasi (rera) tentara pada Kementrian Pertahanan dan Markas Besar Tertinggi Angkatan Perang sampai ke eselon terbawah. Rasionalisasi adalah proses dimana individu membangun logika yang benar (sistematis) untuk digunakan pada keputusan, tindakan atau keteledoran dimana hal ini berangkat, lewat sebuah proses mental yang berbeda. Dimana tentara-tentara yang berperilaku buruk dikembalikan ke kampung halaman atau dikirim ke desa-desa terpencil untuk menjadi petugas keamaan dan petani. Hatta melakukan rasionalisasi bukan karena tidak ada alasan, tapi pemerintah tidak sanggup membiayai banyaknya tentara yang dimiliki negara setelah berhasil merebut kemerdekaan dan menindak lanjuti perjanjian Renville agar secepatnya membentuk Negara Serikat Indonesia.

FDR ( Front Demokrasi Rakyat terdiri dari PKI, partai buruh, Pesindo dan lain-lain) yang telah ikut ambil adil dalam pengkaderan tentara-tentara merasa dilucuti oleh kabinet Hatta. FDR yang notabene adalah pengikut gerakan Moscow (Gerakan Komunis), menyusupkan ideologi-idelogi komunis kepada tubuh tentara lewat pengkaderan itu. FDR menyatakan kalau 35% tubuh TNI di bawah kekuasan FDR, mereka beranggapan kalau rasionalisasi adalah upaya pelucutan kekuatan FDR dan melemahkan kekuatan negara. Karena sebagian besar laskar-laskar yang terkena rasionalisasi adalah yang beraliansi dengan PKI.

Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, muncul berbagai organisasi yang membina kader-kader mereka, termasuk golongan kiri dan golongan sosialis. Selain tergabung dalam Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia), Partai Sosialis Indonesia (PSI) juga terdapat kelompok-kelompok kiri lain, antara lain Kelompok Diskusi Patuk, yang diprakarsai oleh Dayno, yang tinggal di Patuk, Yogyakarta. Yang ikut dalam kelompok diskusi ini tidak hanya dari kalangan sipil seperti D.N. Aidit, Syam Kamaruzzaman, dll. kemudian juga dari kalangan militer, bahkan beberapa komandan brigade, antara lain Kolonel Joko Suyono, Letkol Sudiarto (Komandan Brigade III, Divisi III), Letkol Soeharto (Komandan Brigade X, Divisi III. Kemudian juga menjadi Komandan Wehrkreis III, dan menjadi Presiden RI), Letkol Dahlan, Kapten Suparjo, Kapten Abdul Latief dan Kapten Untung Samsuri.

Pada bulan Mei 1948 bersama Suripno, Wakil Indonesia di Praha, Musso, kembali dari Moskow, Rusia. Tanggal 11 Agustus, Musso tiba di Yogyakarta dan segera menempati kembali posisi di pimpinan Partai Komunis Indonesia.
Musso yang memuji-muji Rusia dan menyatakan bahwa Rusia mengakui RI dan tidak pernah mengakui kedaulatan Belanda di Indonesia. Rusia yang selama ini berseberangan antara Amerika dan satu-satunya negara yang ditakuti Amerika. Pernyataan-pernyataan Musso itu berakibat meningkatkan citra FDR di mata masyarakat dan memberi angin segar kepada FDR. Pertemuannya dengan presiden berbuahkan hasil, presiden meminta Musso untuk membantu memperkuat negara dalam melancarkan revolusi. Akhirnya dia disibukan dengan membakar semangat rakyat untuk menentang kapitalis dan imprealis.

Dibalik itu semua Musso memiliki tujuan terselubung yaitu menginginkan Indonesia bersatu dengan Soviet untuk menghancurkan blok imperialis pimpinan Amerika Serikat. Demi mewujudkan itu Musso memberikan thesisnya dalam sebuah rapat PKI (26-27 Augustus 1948) yang berjudul “Jalan Baru untuk Republik Indonesia”. Diterimanya thesis itu tanggal 31 Agustus 1948 PKI membuat gebrakan dengan dibubarkannya FDR untuk  bergabung ke PKI dengan begitu anggota yang awalnya cuma 3.000 orang naik pesat menjadi 30.000.


Pembentukan Pasukan PKI
Pembentukan kekuatan PKI sejak proklamasi Republik Indonesia dideklarasikan oleh Soekarno-Hatta untuk memberontak bukanlah isapan jempol belaka. Sebelum pemberontakan di Madiun terjadi, PKI telah melakukan upaya pemberontakan di daerah strategis, seperti peristiwa Serang (1945), peristiwa Tangerang (1945), peristiwa tiga daerah (Brebes, Pekalongan dan Tegal) (1945) dan persitiwa Cirebon merupakan wujud nyata sebuah upaya pemberontakan PKI akan kedaulatan negara Indonesia.

Mereka melakukan upaya pemberontakan karena ingin mendirikan soviet di Indonesia, mereka tidak menghiraukan bahwa seluruh elemen bangsa sedang berjuang menegakkan kemerdekaan. Walaupun peristiwa-peristiwa di atas berujung kekalahan, mereka tiada hentinya menegakan ediologinya. Ini bukti tekat keras mereka untuk merealisasikan ediologi komunis.

Demi mewujudkan berdirinya kekuatan bersenjata di pihak PKI, orang-orang komunis menyusun organisasi kelaskaran terdiri dari Pesindo, Laskar Merah, Laskar Buruh, Laskar Rakyat, Laskar Minyak, TLRI (Tentara Laut Republik Indonesia) sampai ke TNI. Mereka mendapatkan senjata ketika Mr. Amir Sjarifuddin mendapat jabatan Perdana Menteri. Mr. Amir Sjarifuddin adalah salah satu dedengkot PKI, ketika menjabat dia memprioritaskan pembagian fasilitas berupa senjata-senjata lebih kepada laskar-laskar yang beraliansi kepada PKI.

Peristiwa Madiun (Madiun Affairs) adalah sebuah konflik kekerasan atau situasi chaos yang terjadi di Jawa Timur bulan September–Desember 1948. Peristiwa ini diawali dengan diproklamasikannya negara Soviet Republik Indonesia pada tanggal 18 September 1948 di Madiun oleh Muso, seorang tokoh Partai Komunis Indonesia dengan didukung pula oleh Menteri Pertahanan saat itu, Amir Sjarifuddin.

Pada saat itu hingga era Orde Lama peristiwa ini dinamakan Peristiwa Madiun (Madiun Affairs), dan tidak pernah disebut sebagai pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI). Baru di era Orde Baru peristiwa ini mulai dinamakan pemberontakan PKI.

Bersamaan dengan itu terjadi penculikan tokoh-tokoh masyarakat yang ada di Madiun, baik itu tokoh sipil maupun militer di pemerintahan ataupun tokoh-tokoh masyarakat dan agama.

Pada awal konflik Madiun, pemerintah Belanda berpura-pura menawarkan bantuan untuk menumpas pemberontakan tersebut, namun tawaran itu jelas ditolak oleh pemerintah Republik Indonesia. Pimpinan militer Indonesia bahkan memperhitungkan, Belanda akan segera memanfaatkan situasi tersebut untuk melakukan serangan total terhadap kekuatan bersenjata Republik Indonesia. Memang kelompok kiri termasuk Amir Syarifuddin Harahap, tengah membangun kekuatan untuk menghadapi Pemerintah RI, yang dituduh telah cenderung berpihak kepada AS.

Pada saat kekosongan pimpinan TNI di Jawa Timur, orang-orang komunis menyadari adanya kesempatan untuk melakukan dialokasi atau pemindahan pasukan-pasukan PKI untuk mendekati Madiun. Entah sejak kapan Madiun direncanakan sebagai daerah basis PKI, ini membuktikan betapa rapinya organisasi dalam tubuh PKI.

Madiun mempunyai wilayah yang stategis baik dari segi ekonomi, topologi daerah dan militer terutama angkatan udara karena adanya lapangan udara Iswahyudi. Banyak pabrik gula seperti, PG Rejoagung, PG Kanigoro, PG Pagotan, PG Redjosarie Gorang-gareng, PG Sudono Geneng, PG Purwodadie Glodok dinilai memenuhi standar ekonomi. Adanya bengkel kereta Api yang letaknya dekat dengan PG Rejoagung dan lintasan kereta api yang menghubungkan Surabaya – Jakarta ini juga memberikan nilai lebih kota Madiun. Topologi daerah yang diapit 2 Gunung, Gunung Willis dan Gunung Lawu juga merupakan wilayah strategis untuk bertahan dari serangan dan melarikan diri.

Serangan PKI
Kubu PKI tidak langsung menyerang kota Madiun dengan senjata tapi dengan sering melakukan rapat-rapat untuk melakukan reorganisasi yang dihadiri Musso dan Mr. Amir Sjarifuddin. Sebelum rapat dimulai tanpa disadari tiba-tiba muncul pasukan berbaju hitam-hitam yang semakin hari semakin banyak yang tidak diketahui asalnya.

Pasukan berbaju hitam-hitam selama sebelum rapat berlangsung bertempat tinggal di gedung-gedung sekolah yang kebetulan libur. Setelah rapat umum selesai, mereka mulai unjuk gigi. Setiap sudut kota Madiun dijaga oleh pasukan berbaju hitam, kawasan-kawasan strategis pun tak luput mereka jaga seperti pasar, alun-alun, stasiun kereta api dan jembatan-jembatan. Setiap orang yang mau masuk kawasan strategis itu selalu digeledah oleh pasukan berbaju hitam.

Gerak-gerik pasukan hitam membuat warga kota Madiun ketakutan. Bagaimana tidak ketakutann, lawan politik dan pamong praja diculik dan dibunuh.  Ketua PNI, walikota, patih Madiun, camat Manisrejo, camat Jiwan, camat Kebonsari, camat Takeran dan lain-lain mereka diculik oleh pasukan hitam. Di Magetan Bupati dan patih dibunuh secara mengerikan.

Kepala kepolisian Karesidenan Madiun Komisaris Besar Sunaryo, diculik dari kantornya kemudian dinaikan ke atas truk terbuka dan diarak keliling kota, diiringin barisan demonstran berseragam hitam. Kemudian dikirim kesuatu tempat yang tidak diketahui dan akhirnya dia tidak pernah kembali. Disusul Kepala Polisi Distrik Uteran Achmad dan inspektur polisi Suparlan juga mengalami hal yang sama.

Tanggal 10 September 1948, mobil Gubernur Jawa Timur RM Ario Soerjo (RM Suryo) dan mobil 2 perwira polisi dicegat massa pengikut PKI di Ngawi. Ketiga orang tersebut dibunuh dan mayatnya dibuang di dalam hutan. Demikian juga dr. Muwardi dari golongan kiri, diculik dan dibunuh. Tuduhan langsung dilontarkan, bahwa pihak lainlah yang melakukannya. Di antara yang menjadi korban juga adalah Kol. Marhadi yang namanya sekarang diabadikan dengan Monumen yang berdiri di tengah alun-alun Kota Madiun dan nama jalan utama di Kota Madiun.


Tak luput tokoh-tokoh agama juga menjadi sasaran mereka, seperti Kyai Selo (Abdul Khamid) dan anaknya dibunuh sedangkan Kyai Zubir dimasukan ke dalam sumur hidup-hidup. Rata-rata korban pembantaian PKI mayat-mayatnya dibuang begitu saja layaknya bangkai tikus. Mayat-mayat bergelimpangan di jalan-jalan dan di buang ke sungai Bengawan Madiun.

Korban-korban penculikan diperkirakan tidak ada yang bisa selamat, mereka dibantai secara keji. Ditusuk, ditembak, disembelih dan dilempar ke sumur seperti itulah kekejaman PKI di Madiun. Menurut saksi hidup Mariyun Harjo “Saat itu, suami saya dijemput oleh sekelompok orang dengan alasan akan melakukan suatu rapat mendadak di daerah Kresek, Kecamatan Wungu. Namun, sesampai di sana semua orang yang ada disiksa lalu dibuang“. Sepertinya kata-kata Mariyun mewakili semua kekejaman PKI. Diperkirakan jumlah total keganasan PKI warga Madiun pada tahun 1948 mencapai ribuan orang.

Setelah berhasil menduduki kota Madiun PKI mendeklarasikan Soviet Republik Indonesia pada tanggal 18 September 1948. Menarik, setelah menyatakan sebagai Soviet Republik Indonesia dalam sekejab Madiun dirubah sistem pemerintahnya seperti Soviet atau berediologi komunis. Pajak penduduk ditiadakan, karena dianggap tidak mencerminkan suatu negara yang demokratis. Tetapi rakyat diwajibkan mendaftarkan beberapa jumlah emas dan permatanya kepada penguasa. Tidak seorangpun dibolehkan memiliki uang lebih dari limaratus rupiah.


Penumpasan Pemberontakan PKI di Madiun

Setelah mengetahui adanya pemberontakan di Madiun presiden berseru “Tidak sukar bagi rakyat, Pilih Sukarno Hatta atau Muso dengan PKI nya” Upaya pendudukan PKI di Madiun ternyata tidak didukung penuh oleh masyarakat Madiun, jadi stigma negatif kalau masyarakat Madiun adalah pendukung PKI hanya omong kosong belaka. PKI tidak menyadari kalau upaya pemberontakan mereka tidak didukung penuh masyarakat Madiun. Setelah mendengar seruan Presiden RI Sukarno dan sebelum bantuan dari TNI datang para pelajar-pelajar yang tergabung dalam TRIP (Tentara Republik Indonesia Pelajar), TGP (Tentara Geni Pelajar) ataupu TP (Tentara Pelajar) mereka langsung menentang tindakan Musso.

Mengetahui pelajar-pelajar menentang rencananya , asrama TRIP diserbu dan dilucuti senjatanya yang mengakibatkan pelajar bernama Mulyadi tewas karena ditusuk bayonet tentara Pesindo (Salah satu laskar PKI). Mengetahui kejadian itu pelajar-pelajar membentuk organisasi bernama PAM (Patriot Anti Musso) untuk melawan tindakan politik Musso.

Karena Musso tidak merasa mendapatkan dukungan dari pelajar-pelajar, Musso membujuk mereka dengan janji menggratiskan biaya sekolah. Tentunya rayuan ini ditolak mentah-mentah oleh pelajar, mereka mengetahui kalau janji-janji itu palsu. Setelah ajakan Musso gagal segera mereka mendatangi makam Mulyadi meneriakan yel-yel anti Musso dan menyanyikan “temanku pahlawanku”.

Ditengah perjalanan pulang mereka mendapat kejutan, mobil mereka dicegat tentara Pesindo. Senapan mesinpun dihadapkan kepada mereka. Tapi bukanya takut tapi malah mengejek dan menantang tentara Pesindo. “Kalau berani satu lawan satu” anehnya dengan senapan mesin tentara Pesindo malah ketakutan.

Melihat keutuhan negara sedang dirong-rong oleh PKI, jendral besar Indonesia Panglima Sudirman langsung memberikan langkah kongkrit. Kolonel Gatot jawa barat dan Kolonel Soengkono jawa timur diperintah Sudirman untuk menumpas pemberontak. Saat itu jendral Sudirman tidak dapat memimpin serangan karena sakit, maka dipilihlah Kolonel A. H. Nasution, Panglima Markas Besar Komando Jawa (MBKD) sebagai pimpinan serangan.

Jendral Sudirman memerintahkan kepada mereka untuk menumpas pasukan pendukung Musso dalam 2 minggu. Kenyataanya pasukan inti PKI hancur lebur dalam waktu singkat. Mereka dikepung pasukan TNI dari sisi barat yang dipimpin kolonel Gatot Subroto dan sisi timur dipimpin kolonel Soengkono, serta pasukan Mobile Brigade Besar (MBB) Jawa Timur, di bawah pimpinan M. Yasin.

Kekuatan pasukan pendukung Musso digempur dari dua arah: Dari barat oleh pasukan Divisi II di bawah pimpinan Kolonel Gatot Subroto, yang diangkat menjadi Gubernur Militer Wilayah II (Semarang-Surakarta) tanggal 15 September 1948, serta pasukan dari Divisi Siliwangi, sedangkan dari timur diserang oleh pasukan dari Divisi I, di bawah pimpinan Kolonel Sungkono, yang diangkat menjadi Gubernur Militer Jawa Timur, tanggal 19 September 1948, serta pasukan Mobiele Brigade Besar (MBB) Jawa Timur, di bawah pimpinan M. Yasin.

Panglima Besar Sudirman menyampaikan kepada pemerintah, bahwa TNI dapat menumpas pasukan-pasukan pendukung Musso dalam waktu 2 minggu. Memang benar, kekuatan inti pasukan-pasukan pendukung Musso dapat dihancurkan dalam waktu singkat.

Tanggal 30 September 1948, Kota Madiun dapat dikuasai seluruhnya. Pasukan Republik yang datang dari arah timur dan pasukan yang datang dari arah barat, bertemu di Hotel Merdeka di Madiun. Namun pimpinan kelompok kiri beserta beberapa pasukan pendukung mereka, lolos dan melarikan diri ke beberapa arah, sehingga tidak dapat segera ditangkap.

Baru pada akhir bulan November 1948 seluruh pimpinan dan pasukan pendukung Musso tewas atau dapat ditangkap. Sebelas pimpinan kelompok kiri, termasuk Mr. Amir Syarifuddin Harahap, mantan Perdana Menteri RI, dieksekusi pada 20 Desember 1948, di makam Ngalihan, atas perintah Kol.Gatot Subroto.

Untuk mengenang jasa pejuang Pemerintah Madiun membangun monumen disebut Monumen Kresek di Desa Kresek, Kecamatan Wungu, Kabupaten Madiun. Kerena tempat itu pusat pembantaian masal tawanan-tawanan PKI.



Tanah-Tanah Perdikan di Madiun

Di wilayah  Madiun  dan sekitarnya  terdapat beberapa kelurahan dan desa yang dahulu kala pada masa pemerintahan Kesultanan Mataram berstatus sebagai tanah perdikan yang di bebaskan dari segala kewajiban pajak atau upeti karena daerah tersebut memiliki kekhususan tertentu dan berhak mengurus rumah tangganya sendiri, yaitu tanah perdikan Taman, Kuncen (Demangan), Kuncen (Caruban), Sewulan, Banjarsari, Giripurno (Magetan), Tegalsari (Ponorogo) dan Pacalan (Magetan)

1. Tanah Perdikan Taman
Pada masa kekuasaan kesultanan Pajang, Desa Taman masih berupa hutan belantara, tetapi setelah ibukota Kabupaten Madiun di Wonorejo hancur akibat peperangan melawan Mataram pada tahun 1590, Bupati Pangeran Adipati Pringgoloyo (pengganti Raden Ayu Retno Djumilah), merencanakan membangun istana kabupaten di hutan Taman, di daerah ini terdapat rawa-rawa yang luas dan berair bersih seperti telaga (sekarang disebut ”Ngrowo”).

Pada masa kekuasaan Kasunanan Kartasura. Sekitar tahun 1703, Raden Ayu Puger , istri Susuhunan Paku Buwono I yang berasal dari Madiun, berniat membangun Taman di Daerah Ngrowo, sebagai Tamansari (taman wisata), dengan adanya rencana itu maka daerah ini kemudian disebut ”Taman” , sejak itu pula daerah Taman diberi kebebasan dari kerja rodi, tidak dipungut pajak, tetapi wajib merawat taman yang akan di bangun.

Tahun 1725 ketika yang berkuasa di Madiun Pangeran Mangkudipuro, di Taman didirikan Makam keluarga dan masjid untuk pengembangan Agama Islam. Tahun 1784 Bupati  Madiun Pangeran Raden Ronggo Prawirodirjo I wafat, oleh iparnya yaitu, Sultan Hamengku Buwono I makam Taman yang sudah dipersiapkan sebelumnya oleh Bupati Mangkudipuro ( lawan politiknya) ditetapkan sebagai makam kerabat beliau. Begitu seterusnya, ada 13 Bupati Madiun yang dimakamkan di Taman, yaitu : Ronggo Prawirodirjo I, Ronggo Prawirodirjo II, Pangeran Mangkudipuro, Pangeran Dipokusumo, Tumenggung Tirtoprodjo, Ronggo Prawirodiningrat, Ario Notodiningrat, Adipati Sosronegoro, Tumenggung Sosrodiningrat, Ario Brotodiningrat, Tumenggung Kusnodiningrat, Tumenggung Ronggo Kusmen dan Tumenggung Ronggo Kusnindar. Orang menyebut Makam Taman adalah Makam Karanggan (makam keluarga Ronggo) sejak saat itu pula Desa Perdikan Taman di kukuhkan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I, dengan piagam yang ditulis dengan huruf Arab Jawa (pegon) dengan tinta kuning emas, Pemimpin desa Taman bergelar ”Kyai” yang berkuasa penuh mengelola desa.

Pemimpin Desa Perdikan Taman (Kyai) diberi tanggung jawab untuk merawat Makam Taman dengan biaya dari hasil pertanian desa setempat. Hingga sekarang ada sebelas kyai yang menjabat sebagai Kepala Pemerintahan Desa Perdikan Taman, yaitu : Kyai Misbach, Kyai Ageng Moch. Kalifah, Kyai Moch Rifangi, Kyai Donopuro I, Kyai Benu, Kyai Surat, Kyai Donopuro II, Kyai Imam Ngulomo, kyai tirto Prawiro, Kyai Raden Kabul Umar, Kyai Banuarli.

Berbeda dengan desa perdikan lainnya, Taman diwajibkan pula merawat sebilah pusaka istana Jogjakarta sebagai pengaman (piandel) Desa Taman, berupa tombak panjang dengan tangkai sekitar 4 meter, namanya ”Kyai Sidem Pengayom” sampai sekarang pusaka ini disimpan dirumah Kyai. 

Pada tahun 1754 oleh Bupati Ronggo Prawirodirjo I, dibangunlah masjid Donopuro Masjid ini bangunan utamanya terbuat dari kayu jati dengan ukuran cukup besar yang ada di Kelurahan/Kecamatan Taman, Kota Madiun dikenal para jemaah dan pengunjung sebagai Masjid Besar Kuno Madiun.

“Memang tak banyak yang mengetahui dulu nama asli Masjid Besar Kuno Madiun ini Masjid Donopuro. Hal itu sesuai dengan julukan pendirinya, yakni Kiai Ageng Misbcah yang memiliki sebutan Kiai Donopuro,” terang, Raden Mas Suko Pramono, keturunan ketujuh Kanjeng Pengeran Ronggo Prawirodirjo I . Baru setelah masjid kuno yang dikelilingi makam para mantan bupati Madiun ini masuk dalam daftar peninggalan cagar budaya tahun 1981, maka namanya pun diganti menjadi Masjid Besar Kuno Madiun. Menurut Mas Suko Pramono, melalui masjid kuno yang beratap joglo dengan tiga pintu masuk utama inilah syiar agama Islam di wilayah Karesidenan Madiun. 

Menurut Raden Suko tradisi ke-Islaman yang saat itu menjadi sarana syiar agama di antaranya perayaan 1 Muharam yang diwarnai dengan pembacaan Al Qur’an serta sajian makanan jenang sengkolo, nasi liwet, sayur bening, dan lauk-pauk tradisional seperti tahu dan tempe. Dijelaskan, sayur bening yang disajikan pada malam 1 Muharam memiliki arti kebeningan jiwa. Sedangkan nasi liwet berarti kebeningan atau kejernihan jiwa itu diharapkan dapat mengental di hati. Jenang sengkolo memiliki arti adanya harapan agar dijauhkan dari musibah. Sedangkan lauk tahu tempe mewakili makanan khas yang digemari rakyat kebanyakan. Selain menyajikan aneka makanan tersebut bagi jemaah dan warga sekitar, masjid juga menggelar seni Gembrung, berupa senandung sholawat yang diiringi alat musik sejenis jidor dan lesung (alat untuk menumbuk padi). Namun sekarang seni itu sudah hampir musnah dan tak pernah diadakan lagi. Yang masih tersisa adalah Grebeg Bucengan (tumpengan) saat peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Sampai saat ini masjid kuno tersebut tidak pernah direnovasi sama sekali, kecuali hanya penambahan kanopi jika jemaah membeludak.



2. Tanah Perdikan Kuncen
Kuncen merupakan kelurahan terkecil di Kota Madiun sekarang, Pada masa kesultanan Pajang, desa ini masih berupa hutan lebat, tahun 1575 pusat pemerintahan Kabupaten Purabaya di Sogaten makin kurang baik di pertahankan karena semakin dangkalnya sungai madiun, maka Pangeran Timur memindahkan Kotapraja ke Hutan Wonorejo (Demangan sekarang).

Setelah usai perang Mataram dengan Kabupaten Wonorejo (Madiun) pada tahun 1590. Daerah Kuncen sekarang dijadikan sebagai makam para prajurit Mataram dan para bangsawan Wonorejo yang gugur dalam peperangan tersebut, maka dusun ini diberi otonomi luas dan dibebaskan dari pajak oleh Panembahan Senopati, dan ditunjuk seorang juru kunci yang tugasnya merawat makam, maka daerah makam dan sekitarnya disebut KUNCEN sampai sekarang.   

Setelah Kotapraja Wonorejo hancur oleh Prajurit Mataram, pusat pemerintahan digeser ke timur yakni di KUTHO MIRING (Demangan sekarang) sebagai kutapraja Kabupaten Wonosari (Madiun).

Para Bangsawan yang dimakamkan di Kuncen semua memakai gelar Mangkunegoro yaitu Mangkunegoro I – IV. Sesuai silsilah bupati Madiun,  diduga semua bangsawan yang dimakamkan di Kuncen adalah keturunan dari Bupati Madiun yang pertama yaitu Pangeran Timur. Mereka adalah Raden Mas Bagus Petak (Mangkunegoro I); Pangeran Adipati Mertoloyo (Mangkunegoro II); Pangeran Tumenggung Balitar Tumapel yang melawan kompeni (Mangkunegoro IV) , selain para bangsawan tersebut, terdapat pula makam seorang kyai yang bernama Kyai Grubug, beliau berasal dari Banten yang merupakan pengasuh keluarga Bupati Mangkunegoro I.

Pemimpin perdikan Kuncen adalah seorang kyai yang bertugas merawat makam dan sekaligus kepala Perdikan. Hingga kini ada 14 orang kyai yang pernah berkuasa di Perdikan Kuncen, yaitu : Kyai Grubug, Kyai Semin I, Kyai Semin II, Kyai Semin III, Kyai Semin IV, Kyai Djodo, Kyai Mat Ngarif, Kyai Kasan Besari, Kyai Mohamad Mardo, Kyai Mohamad Mardi, Kyai Darsono, Kyai Sutopo, Kyai Karsono dan Kyai Kentjono.

Peninggalan Perdikan Kuncen adalah Masjid Tertua di Madiun masih kokoh menjadi saksi, yaitu Masjid Nur Hidayatullah, artefak-artefak disekeliling masjid, serta sendang (tempat pemandian) keramat.

Sejak tahun 2006 dilaksanakan kembali tradisi mataraman, yaitu grebeg maulud Nabi Muhamad, SAW dengan acara kirab gunungan jaler dan gunungan estri  dengan dinaikan ke kereta kuda dari Masjid Kuncen menuju ke Masjid Donopuro Taman, atau dari Alun-alun Madiun menuju ke Masjid Taman.

3. Tanah Perdikan Banjarsari
Desa Banjarsari adalah bertetangga dengan desa Sewulan, Desa ini merupakan hadiah dari Sultan Hamengku Buwono II. Kata Banjarsari diduga berasal dari “Ganjar” dan “Sri” ( hadiah sang raja)

Ketika Sultan Hamengku Buwono I naik tahta 13 Pebruari 1755, Kabupaten Singosari, Malang  yang merupakan wilayah Mancanegara timur, membangkang terhadap Sultan Hamengku Buwono I, sudah semestinya ini merupakan tugas dari Wedono Bupati Mancanegara timur di Madiun yaitu Bupati Ronggo Prawiradirjo I.
Bersama 40 prajurit pilihan dan seorang santri dari Tegalsari bernama Muhamad Bin Umar Ronggo Prawirodirjo berangkat ke Singosari, dipinggir sungai Porong, atas permintaan Muhamad Bin Umar, perjalanan berhenti dan menanak nasi, nasi bukan untuk dimakan, akan tetapi merupakan sarana agar jika masuk ke istana Bupati Singosari tidak dapat diketahui oleh prajurit jaga. Nasi liwet tersebut diartikan “selamat lewat” dan ternyata benar Rongggo Prawiridirjo beserta prajurit berhasil masuk ke istana tanpa diketahui prajurit musuh. Kemudian Bupati Singosari dibawa menghadap Sultan Hamengku Buwono di Jogjakarta.

Sri Sultan kagum saat mendengar cerita Ronggo Prawirodirjo tentang kesaktian Muhamad Bin Umar, kemudian Sri Sultan memberi hadiah tanah sebagai Desa Perdikan, yang sekarang disebut Desa Banjarsari pada tahun 1763. Sekitar tahun 1793 Desa  perdikan Banjarsari dipecah menjadi dua bagian yaitu Desa Banjarsari Wetan dan Desa Banjarsari kulon.

Cerita asal mula Desa Perdikan Banjarsari dalam versi lain sebagai berikut : Berawal dari kekalahan Sultan Hamengku Buwono II dari Mataram gagal memenangi peperangan melawan Prabu Joko , seorang adipati Singosari di Malang. Adipati Singosari sebenarnya masih sentono (adik kandung) Sultan Hamengku Buwono. Namun ia melawan, dan bagi sebuah kerajaan besar seperti Mataram, sebuah kekalahan tidak bisa diterima. Pangeran Ronggo, seorang Bupati Madiun, yang ditugaskan oleh Sultan Hamengku Buwono II untuk menemui seorang cerdik pandai dan bijak bestari, beliau adalah Kiai Ageng Muhammad Besari di Tegalsari, Ponorogo.

Kepada Kiai Muhammad Besari, Pangeran Ronggo menyampaikan pesan sang Sultan agar mau membantu di medan peperangan.
Kiai Muhammad Besari menyanggupi. Karena usia beliau sudah tua beliau memanggil santri muda sekaligus menantunya, Kyai Muhammad Bin Umar untuk berperang di bawah panji-panji Mataram. Kyai Muhammad Bin Umar baru saja menikah satu bulan. Namun, ia mematuhi perintah sang guru sekaligus mertuanya. Kyai Muhammad Bin Umar melakukan pendekatan dan strategi yang ganjil dalam melakukan peperangan. Ia memerintahkan pasukan berhenti di dekat sungai Brantas, dan mendirikan kemah di sana. Beberapa prajurit diperintahkan menanak nasi, sementara beliau sendiri memilih menunaikan shalat. Kyai Muhammad Bin Umar memerintahkan 40 orang prajurit dan santri untuk berangkat menuju Malang (Singosari). Perang diselesaikan tanpa pertumpahan darah. Kyai Muhammad Bin Umar masuk ke istana Singosari tanpa perlawanan. Prabu Joko menyerah tanpa syarat, iapun dibawa ke Mataram tanpa diborgol. Permintaannya agar tak dihukum mati dikabulkan oleh Kyai Muhammad Bin Umar.

Prabu Joko sebenarnya heran bukan kepalang. Ke mana pasukannya yang hebat dan pernah mengempaskan pasukan Mataram itu? Ia tak bisa menjawab. Tak ada yang bisa menjawab. Misteri baru terkuak, saat rombongan pergi meninggalkan Singosari. Prabu Joko melihat banyak anak kecil yang membawa galah bambu dan panah kecil. Mereka mirip betul dengan tentara Mataram.
Rombongan berlalu melewati anak-anak kecil itu. Prabu Joko dengan masih menyisakan keheranan, menoleh ke belakang, dan alangkah kagetnya dia: anak-anak kecil itu hilang dan yang terlihat adalah para prajurit Singosari yaitu prajuritnya sendiri. Jelaslah semuanya: ia kalah wibawa di hadapan Kyai Muhammad Bin Umar.
Keberhasilan Kyai Muhammad BinUmar membawa Prabu Joko ke Mataram tanpa pertumpahan darah membuat Raja Hamengku Buwono II gembira dan terkesan. Sebagai hadiah, Kyai Muhammad Bin Umar dipersilakan memilih wilayah hutan di mana pun juga di bawah kekuasaan Mataram untuk dijadikan desa. Wilayah itu akan menjadi wilayah otonom ( perdikan ) , tanpa dibebani pajak.
Kyai Muhammad Bin Umar memilih sebuah tanah di dekat Desa Sewulan yang ditinggali Kyai Ageng Basyariyah, putra murid Kiai Muhammad Besari. Di utara sungai Catur, ia memberi nama desa itu Desa Banjasari.

Ketika Desa banjarsari belum terpecah penguasanya berturut-turut, Kyai Ageng I Muhamad Bin Umar . Kyai Ageng II. Kyai Muhamad Imron, Kyai Ageng III Muhamad Maolani, Kyai Ageng ini adalah hanya merupakan wali, karena Tafsiranom putra Kyai Ageng II masih berusia 3 tahun, setelah dewasa sekitar tahun 1793 sebagian daerahnya diberikan kepada Muhamad Maolani atas jasa beliau.
Penguasa selanjutnya dari kedua desa tersebut adalah :
Desa Banjarsari Wetan : Kyai Tofsiranom I, Kyai Tofsiranom II, Kyai sosro Ngulomo, Kyai Abdul Hamid, Kyai Notodirodo, Kyai Ismangil, Kyai Istiadji.
Desa Banjarsari Kulon : Kyai Muhamad Maolani, Kyai Ngali Murtolo, Kyai Jayadi II, Kyai Mukibat dan Kyai Joyodipuro.
Kemudian mulai tahun 1963 status desa perdikan dicabut oleh pemerintah menjadi desa biasa yang dipimpin oleh Kepala Desa, yaitu Raden Purnomo Kades Banjarsari Wetan  dan Sumaryono Kades Banjarsari Kulon.

Kyai Raden Abdul Hamid selain sebagai pemimpin Desa perdikan Banjarsari Kulon, beliau juga pendiri Perguruan Ilmu Sumarah ( kepercayaan Sumarah) yang memiliki siswa ribuan jumlahnya, bahkan ada beberapa dari Australia, Amerika, Belanda, Belgia dan Selandia Baru. Kepercayaan sumarah diturunkan di Jogjakarta tahun 1935 oleh Raden Ngabehi Sukino dan Kyai Abdul Hamid sebagai murid pertama, kemudian dikembangkan di daerah Madiun.

Sebagaimana desa perdikan lainnya, setiap bulan Maulud, kyai dengan beberapa anggota pemerintahannya wajib menghadap Sri Sultan di Keraton Jogjakarta sebagai tanda bahwa masih setia dan taat pada pemerintahan Kesultanan Jogjakarta. Kesetiaan itu dapat dibuktikan ketika Pendopo Kabupaten Madiun terbakar habis akibat perang Diponegoro sekitar tahun 1840, Pendopo Desa Banjarsari dibongkar untuk mengganti pendirian kembali Pendopo Kabupaten Madiun.

Kyai Muhammad Bin Umar memimpin Perdikan Banjasari selama 44 tahun. Ia meninggal pada 1807 atau 1227 hijriah. Ia mewariskan sebuah masjid, Al-Muttaqin, yang didirikannya pada 29 September 1763. Di perdikan tersebut terdapat rumah penyimpanan pusaka yang dinamakan “njero kidul” yaitu rumah pusaka peninggalan kyai yang memerintah Banjarsari Kulon, sedang “njero kulon” rumah pusaka yang ditempati keluarga besar kyai yang memerintah Banjarsari Wetan yang sekarang ditempati oleh keluarga Abdul Khamid.

4. Tanah Perdikan Giripurno
Tanah perdikan Giripurno ditetapkan oleh Sultan Hamengkubuwono II Karena di Gunung Bancak Giripurno terdapat makam anak seorang raja, maka Giripurno dijadikan Perdikan. Kyai Baelawi kemudian ditunjuk menjadi pengelola daerah Perdikan itu.

Kyai Baelawi, putra ke tiga Kyai Bin Umar, Perdikan Banjarsari, meninggalkan Banjarsari untuk menetap di Giripurno, Beliau di  Giripurno mendirikan pondok pesantren. Rupa-rupanya beliau orang yang arif dan bijaksana dan banyak  didatangi orang karena kearifannya. Salah seorang yang meguru (berguru) kepada beliau adalah Kanjeng Ratu Maduretno, putri Hamengku Buwono II, yang adalah juga isteri Ronggo Prawirodijo III. Tidak menutup kemungkinan Ronggo Prawirodijo III adalah murid beliau juga.
Selain Kanjeng gusti Ratu Maduretno (garwo padmi) beliau masih mempunyai isteri lain yang berasal dari Madiun (garwo paminggir). Alibasah Sentot Prawirodirjo adalah putra dari Prawirodirjo III dengan garwo paminggir tersebut.
Setelah Maduretno memutuskan hubungan dengan ayahnya, Hamengku Buwono II, maka beliau memilih dimakamkan di Gunung Bancak, Giripurno.

Ronggo Prawirodirjo III adalah Wedono Bupati Brang Wetan dan sekaligus senopati perang  Hamengku Buwono II,  Ketika  Pangeran Mangkubumi (Hamengku Buwono I)  memisahkan diri dari  Surakarta dan Membangun Jogjakarta. Ronggo Prawirodirjo I atau kakek Ronggo Prawirodirjo III  yang berjasa mengamankan daerah-daerah baru, dan setiap kali berhasil menundukkan suatu daerah, beliau selalu diangkat menjadi Bupati di daerah tersebut hingga pada akhirnya beliau diangkat menjadi Wedono Bupati Madiun, membawahi bupati-bupati lainnya. Prawirodirjo II dan Prawirodirjo III mewaris jabatan Prawirodirjo I. Tidak diperoleh cerita tentang Prawirodirjo II, kecuali bahwa cucu perempuannya kawin dengan Kyai Perdikan Banjarsari Wetan I.

Ronggo Prawiridirjo III adalah tokoh yang militan. Beliau sangat anti Belanda. Dalam hal ini beliau cocok dengan Hamengku Buwono II yang juga anti Belanda. Namun Surakarta saat itu bekerjasama dengan Belanda. Setelah perjanjian Gianti daerah Timur Surakarta "pating dlemok", ada yang masuk Surakarta ada yang masuk Yogyakarta.
Di wilayah kekuasaan Belanda Ronggo Prawirodirjo III melakukan perang  gerilya dan bumi hangus. Beliau mempunyai pengikut yang bisa digerakkan untuk mengacaukan keadaan di daerah Kasunanan ketika beliau melintas dari Yogya ke Madiun, misalnya dengan menggerakkan para "blandong", yaitu penebang kayu di hutan yang dikuasai Belanda, untuk melakukan tebang liar.
Karena kemampuannya di bidang politik, Hamengku Buwono II sering membutuhkan kehadiran Prawirodirjo III di Yogyakarta. Mungkin karena  perannya yang cukup menonjol itulah maka beliau masuk ke dalam cakupan fitnah Danurejo II yang merupakan antek Belanda. Ketika Belanda menghendaki Ronggo Prawirodirjo III ditangkap hidup atau mati, maka patih  Danurejo II menyusun siasat untuk menangkapnya. Tanggal 13 Desember 1810 di utuslah panglima perang Pangeran Dipokusumo (saudara Pangeran Diponegoro) untuk menangkap Ronggo Prawirodirjo III dan mampu menduduki istana Maospati, Madiun. 17 Desember 1810 terjadi pertempuran dahsyat di Desa Sekaran Kertosono, hingga Pangeran Dipokusumo bisa langsung berhadapan dengan Ronggo Prawirodirjo III, dengan tombak sakti ”Kyai Blabar” Ronggo Prawirodirjo III bertempur melawan Dipokusumo.

Dalam pertempuran ini terjadi sebuah konflik bathin pada diri Ronggo Prawirodirjo III, yang di hadapi sekarang bukanlah Belanda tetapi saudara sendiri dan keberlangsungan tahta Sultan Hamengku Buwono II, akhirnya dengan berat hati Raden Ronggo memilih mati dengan pusakanya sendiri ”Tombak Kyai Blabar” Dalam versi Babad : karena Pangeran Dipokusumo diperintahkan untuk membawa hidup atau mati, atas permintaanya sendiri beliau dibunuh dengan tombak Kyai Blabar oleh Pangeran Dipokusumo dalam perkelahian pura-pura. Demikianlah Raden Ronggo Prawirodirjo III, Pahlawan Madiun menemui ajalnya sebagai korban Daendels dan antek-anteknya ”Patih Danurejo II” dengan politik”Devide et impera”  
Jenazah Ronggo Prawirodirjo III dibawa ke Jogjakarta dengan upacara kebesaran di makamkan di  Banyu Sumurup komplek               makam Imogiri. GKR Maduretno, isteri Ronggo Prawirodirjo memutuskan, tidak mau kembali ke Jogjakarta dan mengembalikan busana raja kepada ayahnya. Ini berarti beliau memutuskan hubungan dengan kraton, kemudian setelah menderita sakit dan meninggal di istana Wonosari, GKR Maduretno memilih dimakamkan di Gunung Bancak. Atas pertimbangan keluarga pada bulan Februari 1957 oleh Sultan Hamengku Buwono IX, beliau dipindahkan makamnya ke samping makam isterinya, GKR Maduretno, di Gunung Bancak setelah di semayamkan lebih dahulu di Masjid Taman Madiun.

Dengan kejadian ini Hamengku Buwono II merasa terpukul dan mencari tahu latar belakangnya. Akhirnya terungkaplah pengkhianatan Patih Danurejo II, bahwa ada persekongkolan dengan Belanda dan Danurejolah yang memerintahkan penangkapan Prawirodirjo III hidup atau mati guna  memenuhi permintaan Belanda, Danurejo juga  telah mencuri stempel Kraton Jogjakarta untuk  mengeluarkan perintah penangkapan. Akhirnya Patih Danurejo II dihukum penggal di Kraton, yang kemudian dikenal sebagai "patih sedo kedaton".

5. Tanah Perdikan Sewulan
Situs Perdikan Sewulan adalah cagar budaya peninggalan kerajaan Mataram yang masih tersisa hingga sekarang. Meski sudah berumur hampir tiga abad, arsitektur kuno yang terpajang masih kokoh berdiri. Gapura besar berwarna putih berdiri kokoh. Ornamen kaligrafi menghiasi setiap bagian dari gapura itu. Di bagian paling atas tertulis Masjid Agung Sewulan. Dan di kanan kirinya diberi corak bunga berjajar.
Situs Sewulan sudah tidak asing lagi bagi masyarakat Madiun. Apalagi, tempat ini merupakan salah satu cagar budaya peninggalan kerajaan Mataram yang tersisa. Pembangunannya pada tahun 1741 oleh Kiai Ageng Basyariyah.

Sejak berdirinya masjid bentuk bangunan masih dipertahankan. Seperti tembok yang tebalnya mencapai satu meter dan kolam tempat wudu yang terletak persis di depan masjid sama sekali belum tersentuh. ''Ini masjid tertua yang berada di Madiun, usianya hampir tiga abad,'' tegas pria paro baya itu.
Kolam yang berukuran 4 x 5 meter itu sendiri sekarang jarang digunakan.Maklum masyarakat biasanya lebih memilih berwudu di tempat yang sudah disediakan. Tapi sebagian warga pendatang masih percaya bahwa air dalam kolam itu bisa mempercepat balita untuk bisa berjalan. Biasanya setelah mandi di kolam itu, beberapa bulan selanjutnya bisa berjalan
Banyaknya ukiran kaligrafi disetiap sudut membuat nuansa Islam semakin kental. Apalagi mimbar (tempat untuk kutbah) yang ada sekarang juga merupakan warisan sejak berdirinya masjid tersebut. Meskipun demikian mimbar itu masih terlihat cukup elegan.

Tak hanya itu, masjid Sewulan juga menjadi kenangan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ketika masih kecil. Gus Dur merupakan salah satu keturunan kedelapan Kiai Ageng Basyariyah. Jadi di Sewulan inilah, tempat bermain tokoh yang pernah menjadi Presiden RI itu, sebelum akhirnya hijrah ke Jombang. Selain Gus Dur, Menteri Agama Maftuh Basyuni juga tercatat sebagai keturunan Kiai Ageng Basyariyah.

Sewulan sendiri berasal dari kata sewu (seribu) dan wuwul (ukuran luas sama dengan hektar) jadi sewu wuwul adalah 1.000 ha. Dari nama tersebut dapat diartikan bahwa Desa Sewulan adalah tanah hadiah yang luasnya 1000 ha. Oleh Raja yang berkuasa pada waktu itu.

Berdasarkan cerita  rakyat sewulan, pendiri Desa Sewulan adalah Bagus Harun, seorang santri dari Tegalsari Ponorogo. Pada masa pemerintah Kasunanan Paku Buwono II di Kartasura, terjadi pemberontakan orang-orang Tionghoa terhadap kekuasaan Kompeni Belanda di bawah pimpinan Tai Wan Sui dari Semarang dan dibantu oleh Sri Susuhunan Paku Buwono II. Pada tahu 1741 terjadi peperangan hebat di Kartasura. Susuhunan Paku Buwono II meminta bantuan kepada Kyai Hasan Besari di Tegalsari, tetapi oleh Kyai besari hanya di kirim seorang santrinya bernama Bagus Harun. Bagus Harun dapat memenangkan pertempuran di Kartasura, kemudian Bagus Harun di beri hadiah tanah yang dipilihnya sendiri seluas 1000 wuwul / ha. Maka sejak tahun 1742 Desa Sewulan mendapatkan kemerdekaan penuh dan secara turun temurun dipimpin oleh seorang Kyai keturunan Bagus Harun atau yang terkenal dengan Kyai Ageng Basyariah.

Adapun pemimpin Desa Perdikan Sewulan hingga tahun 1962 adalah: Bagus Harun (Kyai Basyariah), Kyai Mahdum, Kyai Mustaram I, Kyai Mustaram II, Kyai Wiryogulomo dan Kyai Muhamad Ichwan.

Ciri kekaryaan Desa sewulan adalah kerajinan dari besi (pande besi), pendirinya Nitikromo dari Jogjakarta dan Nuryo, barang yang dihasilkan adalah alat-alat pertanian, juga terdapat seorang empu pembuat keris pusaka yang bernama Mohamad Slamet, masih keturunan empu Suro dari Demak.

Pada masa kekuasaan Belanda,  Desa Sewulan tetap berstatus Desa perdikan, karena Belanda menghargai pahlawan dari Sewulan, yaitu Pangeran Surodilogo, Beliau adalah panglima perang Diponegoro yang gigih mempertahankan daerah Mancanegara Timur. 
6. Tanah Perdikan Tegalsari
Pada paroh pertama abad ke-18, hiduplah seorang kyai besar bernama Kyai Ageng Hasan Bashari atau Besari di desa Tegalsari, yaitu sebuah desa terpencil lebih kurang 10 KM ke arah selatan kota Ponorogo. Di tepi dua buah sungai, sungai Keyang dan sungai Malo, yang mengapit desa Tegalsari inilah Kyai Besari mendirikan sebuah pondok yang kemudian dikenal dengan sebutan Pondok Tegalsari. 

Dalam sejarahnya, Pondok Tegalsari pernah mengalami zaman keemasan berkat kealiman, kharisma, dan kepiawaian para kyai yang mengasuhnya. Ribuan santri berduyun-duyun menuntut ilmu di Pondok ini. Mereka berasal dari hampir seluruh tanah Jawa dan sekitarnya. Karena besarnya jumlah santri, seluruh desa menjadi pondok, bahkan pondokan para santri juga didirikan di desa-desa sekitar, misalnya desa Jabung (Nglawu), Bantengan, dan lainnya

Jumlah santri yang begitu besar dan berasal dari berbagai daerah dan berbagai latar belakang itu menunjukkan kebesaran lembaga pendidikan ini. Alumni Pondok ini banyak yang menjadi orang besar dan berjasa kepada bangsa Indonesia. Di antara mereka ada yang menjadi kyai, ulama, tokoh masyarakat, pejabat pemerintah, negarawan, pengusaha, dll. sebagai contoh adalah Susuhunan Paku Buwono II atau Sunan Kumbul, penguasa Kerajaan Kartasura; Raden Ngabehi Ronggowarsito (wafat 1803), seorang Pujangga Jawa yang masyhur; dan tokoh Pergerakan Nasional H.O.S. Cokroaminoto (wafat 17 Desember 1934).
Dalam Babad Perdikan Tegalsari diceritakan tentang latar belakang Paku Buana II nyantri di Pondok Tegalsari. Pada suatu hari, tepatnya tanggal 30 Juni 1742, di Kerajaan Kartasura terjadi pemberontakan Cina yang dipimpin oleh Raden Mas Garendi Sunan Kuning, seorang Pangeran keturunan Tionghoa. Serbuan yang dilakukan oleh para pemberontak itu terjadi begitu cepat dan hebat sehingga Kartasura tidak siap menghadapinya. Karena itu Paku Buwono II bersama pengikutnya segera pergi dengan diam-diam meninggalkan Keraton menuju ke timur Gunung Lawu. Dalam pelariannya itu dia sampai di Desa Tegalsari. Di tengah kekhawatiran dan ketakutan dari kejaran pasukan Sunan Kuning itulah kemudian Paku Buwono II berserah diri kepada Kanjeng Kyai Hasan Besari. Penguasa Kartasura ini selanjutnya menjadi santri dari Kyai Wara` itu, dia ditempa dan dibimbing untuk selalu bertafakur dan bermunajat kepada Allah, Penguasa dari segala penguasa di semesta alam.
Berkat keuletan dan kesungguhannya dalam beribadah dan berdoa serta berkat keikhlasan bimbingan dan doa Kyai Besari, Allah SWT mengabulkan doa Paku Buwono II. Api pemberontakan akhirnya reda. Paku Buwono II kembali menduduki tahtanya. Sebagai balas budi, Sunan Paku Buwono II mengambil Kyai Hasan Besari menjadi menantunya. Sejak itu nama Kyai yang alim ini dikenal dengan sebutan Yang Mulia Kanjeng Kyai Hasan Bashari (Besari). Sejak itu pula desa Tegalsari menjadi desa merdeka atau perdikan, yaitu desa istimewa yang bebas dari segala kewajiban membayar pajak kepada kerajaan.
Setelah Kyai Ageng Hasan Bashari wafat, beliau digantikan oleh putra ketujuh beliau yang bernama Kyai Hasan Yahya. Seterusnya Kyai Hasan Yahya digantikan oleh Kyai Bagus Hasan Bashari II yang kemudian digantikan oleh Kyai Hasan Anom. Demikianlah Pesantren Tegalsari hidup dan berkembang dari generasi ke generasi, dari pengasuh satu ke pengasuh lain. Tetapi, pada pertengahan abad ke-19 atau pada generasi keempat keluarga Kyai Bashari, Pesantren Tegalsari mulai surut.

Alkisah, pada masa kepemimpinan Kyai Khalifah, terdapat seorang santri yang sangat menonjol dalam berbagai bidang. Namanya Sulaiman Jamaluddin, putera Panghulu Jamaluddin dan cucu Pangeran Hadiraja, Sultan Kasepuhan Cirebon. Ia sangat dekat dengan Kyainya dan Kyai pun sayang kepadanya. Maka setelah santri Sulaiman Jamaluddin dirasa telah memperoleh ilmu yang cukup, ia diambil menantu oleh Kyai dan jadilah ia Kyai muda yang sering dipercaya menggantikan Kyai untuk memimpin pesantren saat beliau berhalangan. Bahkan sang Kyai akhirnya memberikan kepercayaan kepada santri dan menantunya ini untuk mendirikan pesantren sendiri di desa Gontor.


7. Sejarah berdirinya Tanah Perdikan Kuncen, Caruban

Istilah Caruban , berasal dari kata carub yang berarti campur, dahulu ada suatu tempat berkumpulnya para pejabat,bangsawan, rakyat jelata, dan para priyayi untuk keperluan adu jago, tempat ini kemudian disebut caruban. Majalah Altona menerangkan , bahwa pada masa kekuasaan Hindu Jawa yang berpusat di Ngurawan (Dolopo sekarang), ada sederet perkampungan untuk menempatkan para penjahat, pemberontak dan para tahanan politik di pisahkan dari tempat tinggal dan lingkungannya, orang-orang ini di beri tugas menanam pohon jati. Tetapi hipotesa ini kurang dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya. Yang jelas Desa-desa di Caruban merupakan desa-desa tua, karena itu sudah sepantasnya Caruban pernah menjadi ibukota kabupaten pada masa Kerajaan Mataram Islam. Dan bahkan sekarang mulai dirintis menjadi ibukota Pemerintah Kabupaten Madiun, setelah adanya perluasan wilayah Pemerintah Kota Madiun.

Pada masa perang Trunojoyo, Caruban untuk pertama kalinya di lalui pasukan kompeni Belanda  bersama prajurit Mataram di bawah  Jendral Anthoni Hurd dengan 214 tentara Belanda dan 1.000 prajurit Mataram. Pada 05 Oktober 1678 mereka melintasi Caruban dari penyerangan di Desa Kajang, Kec. Sawahan, menuju wilayah Kediri untuk mengejar pasukan Trunojoyo.

Pada masa perang Suropati pada tahun 1684 dan masa perebutan tahta kerajaan Mataram, Kartasura antara Sunan Mas dengan Pangeran Puger pamannya, rakyat Caruban besar andilnya  dalam ikut berjuang melawan tentara Kompeni (VOC) salah satunya di bawah pimpinan Demang Tampingan yang bergabung dengan Pangeran Mangkunegoro IV Wedono Bupati Mancanegara Timur, Madiun.

Desa Krajan merupakan pusat pemerintahan Kabupaten Caruban, Kemungkinan Bupati pertama dijabat oleh Raden Cokrokusumo I atau disebut Tumenggung Alap-alap. Ia semula pejabat tinggi di Demak, Beliau adalah putra sulung Raden Pecat Tondo II,  Raden Pecat Tondo I adalah Adipati Terung, ini merupakan wilayah bekas Kerajaan Majapahit yang terakhir. Bupati kedua adalah Raden Cokrokusumo II sering disebut Tumenggung Emprit Gantil, kemudian bertahta Raden Tumenggung Notosari. Raden Tumenggung Notosari adalah putra dari Bupati Jipang yang bergelar Raden Tumenggung Purwowijoyo. Beliau adalah putra Paku Buwono I dari selir, jadi Bupati Notosari  adalah cucu raja besar Mataram.

Dari perintah Bupati Notosari inilah kemudian salah satu desa di Caruban yaitu Desa Kuncen yang terletak di selatan Desa Sidodadi menjadi Desa Perdikan sebagai tempat makam Bupati Caruban beserta kerabatnya. Bupati Notosari sebelum bertahta di Caruban merupakan salah satu bangsawan di istana Kartasura. Setelah wafat , beliau di makamkan di makam Kuncen Caruban, dengan biaya pemakaman dari Kartasura. Selain Bupati Notosari, di Kuncen Caruban juga dimakamkan para kerabat dan pengikut-pengikut setianya.

Sebagai Desa Perdikan, Desa Kuncen, Caruban dibebaskan dari pajak dan diberi otonomi seluasnya, dengan tanggungjawab merawat makam para Bupati Caruban, beserta kerabatnya. Piagam tentang kemerdekaan desa ini masih ada, yang menunjukkan tahun Wawu 1627 saka atau tahun 1705 Masehi, oleh Sunan Paku Buwono I.

Bupati berikutnya adalah Raden Tumenggung Wignyosubroto, putra bupati sebelumnya, memindahkan ibukota Caruban ke pusat Kota Caruban sekarang atau disebut Desa Tompowijayan atau Bangunsari sekarang.

Bupati terakhir adalah Raden Tumenggung Djayengrono, putra Bupati Ponorogo yang bernama Pangeran Pedaten. Beliau kawin dengan putri Bupati Mangkudipuro yang dipindahkan oleh Hamengku Buwono I dari Wedono Bupati di Madiun menjadi Bupati kecil di Caruban, karena dianggap tidak tunduk pada perjanjian pemerintahan Jogjakarta setelah adanya perjanjian Gianti. Wedono Bupati di Madiun di berikan kepada panglima perang Kesultanan Jogjakarta, yaitu Ronggo Prawirosentiko setelah menjadi bupati bergelar Ronggo Prawirodirjo I.

Jadi Desa Kuncen Caruban ditetapkan sebagai tanah perdikan karena merupakan tempat peristirahatan terakhir para bangsawan dari Kasunanan Mataram Kartasura. Para Bupati Caruban dan kerabatnya yang dimakamkan di pemakamam Kuncen Caruban, antara lain, Pangeran Mangkudipuro Bupati Madiun ke 13, Raden Cokorokusumo I, Raden Cokorokusumo II, Raden Tumenggung Notosari, Raden Tumenggung Wignyosubroto, dan Raden Tumenggung Djayengrono


Peninggalan-Peninggalan Pemerintah Kerajaan di Madiun

1. Prasasti Sendang Kamal
Prasasti Sendang kamal berlokasi di dukuh Sumber, Desa Kraton, Kecamatan Maospati, Kabupaten Magetan. Dari jalan Raya Solo Madiun sekitar 1 km dan ada papan bertuliskan "Prasasti Sendang Kamal +- 1 km" di kiri jalan.

Sebelum masuk ke lokasi situs ini, Anda akan melihat patung monyet dan gapura yang memperlihatkan tulisan Jawa dan 2 orang duduk bersila. Lalu saat masuk ke dalam lokasi yang berukuran 35x15 meter ini, Anda akan melihat 3 batu prasasti, sebuah bangunan Belanda tak beratap, dan sebuah kolam di belakang bangunan tersebut.

Prasasti ini sebenarnya berjumlah 4 tetapi menurut buku "Cagar Budaya Prasasti Sendang Kamal" yang mengadopsi pula dari buku terpercaya, bahwa sebuah lagi dibawa dan disimpan di Museum Betawi. Padahal, dari keempat batu prasasti yang dapat dibaca hanyalah yang berada di Museum Betawi ini.

Isi prasasti tersebut ada dua versi, salah satunya adalah bentuk pengabdian punggawa kepada raja dengan mempersembahkan 400 ekor sapi. Kerajaan yang dimaksud adalah Kerajaan Kediri. Sedangkan mengapa dinamakan "Sendang Kamal", ada berbagai versi dan salah satunya karena kolam yang berada di belakang bangunan Belanda itu pada saat digunakan mandi oleh salah satu bupati dari Madiun, airnya menjadi jernih yang warnanya putih kebiru-biruan mirip Telur Kamal (kini sering disebut telur Asin dari telur bebek).


2. Prasasti Mruwak (1108 Śaka/1186 M)

Prasasti Mruwak. Isi pokok prasasti ini adalah penetapan Desa Mruwak menjadi sīma. Sebab penetapan tersebut adalah adanya penyerangan dari pihak luar, sehingga Desa Mruwak dipindahkan ke tempat yang lebih tinggi dari lokasi semula.

Prasasti Mruwak terbuat dari batuan andesit (upala prasasti) yang berbentuk blok (balok) dengan variasi puncak setengah lingkaran. Tinggi prasasti ini 84 cm, lebar 60 cm (atas) dan 45 cm (bawah), bagian bawahnya berbentuk bunga padma. Prasasti Mrwak beraksara dan berbahasa Jawa Kuna yang dipahatkan di semua sisinya. Bentuk hurufnya kasar, tidak teratur serta pada beberapa bagian sudah aus. Sisi lainnya ditumbuhi lumut dan jamur yang menyebabkan prasasti tersebut rusak (Nasoichah,2007:23--24).

Penggunaan kata Mrwak dalam prasasti masih dipakai hingga sekarang sebagai penyebutan nama Desa Mruwak. Dari pembacaan, diketahui Prasasti Mrwak berangka tahun 1108 Śaka (1186 M), menyebut tentang desa Mrwak dan nama Digjaya Śastraprabhu. Penyebutan nama raja ini juga ditemukan pada prasasti lain dengan sebutan Śrī Jayawarsa Digwijaya Śastraprabhu. Nama Śastraprabhu disebutkan di dalam dua prasasti. Pertama, Prasasti Mrwak dan kedua Prasasti Sirah Kĕting yang berasal dari Dukuh Sirah Kĕting, Desa Bandingan, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur yang berangka tahun 1126 Ś (Wardhani,1982:161).

Berdasar keterangan dalam Prasasti Mruwak, Desa Mruwak pernah mengalami perpindahan tempat. Hal ini dikarenakan Desa Mruwak mendapat serangan dari pihak luar. Seperti dapat dilihat dari isinya, Prasasti Mrwak yang berupa prasasti sīma diturunkan oleh śrī jaya prabhu yang yang tidak lain merupakan penguasa wilayah Madiun dan Ponorogo. Peristiwa penyerangan tersebut disebutkan dalam sambandha dan isi prasasti.

Dilihat dari identifikasi tempat, diketahui bahwa wilayah kekuasaan Śrī Jaya Prabhu berada di sekitar Madiun dan Ponorogo (berdasarkan Prasasti Mrwak dan Sirah Kĕting), yaitu terletak di sebelah barat Gunung Wilis. Sedangkan Desa Mruwak yang dijadikan sīma sendiri terletak di barat Gunung Wilis dan di tenggara sungai besar (berdasarkan Prasasti Mrwak). Bagian yang menarik dari Prasasti Mrwak, bahwa letak Desa Mruwak yang digambarkan dalam prasasti tersebut masih dapat dibuktikan dengan toponimi saat ini. Sungai besar yang disebutkan dalam prasasti sampai sekarang masih ada, oleh penduduk setempat dinamakan Kali Catur.

Mengenai perpindahan tempat, Desa Mruwak berpindah dari tempat yang dekat dengan sungai ke tempat yang lebih tinggi, yaitu dekat gunung dan hanya berjarak sekitar 1 km. Kondisi tersebut memungkinkan penduduk desa pada masa itu masih tetap bermatapencaharian sebagai petani sehingga perpindahan ini tidak terlalu signifikan. Namun apabila dilihat kondisi desa saat ini terdapat perbedaan penggunaan lahannya, dahulu bertani dengan menggunakan sawah datar dengan lahan basah karena dekat sungai, kemudian beralih menjadi sawah berteras karena berada pada lereng gunung. Kondisi yang berdekatan dengan sungai memungkinkan dahulu masyarakat Desa Mruwak juga mencari ikan selain bertani, namun ketika berpindah sebagian kegiatannya berubah menjadi berburu di hutan dan berladang. Penyebutan jenis-jenis binatang hutan seperti kera dan rusa, serta tanaman-tanaman perladangan seperti tanaman pare di dalam Prasasti Mrwak menggambarkan dilaksanakannya kegiatan tersebut.

3. Peninggalan Sejarah Nglambangan
Peninggalan Sejarah Nglambangan, merupakan situs peninggalan bersejarah yang berlokasi di desa Nglambangan, kecamatan Wungu, tepatnya berjarak 8 km kearah timur kota Madiun menuju desa Dungus. Lokasi ini banyak dipergunakan untuk upacara ritual pada saat bulan-bulan syuro. Di tempat ini terdapat peninggalan-peninggalan pada jaman Majapahit, yang antara lain berupa; Pura Lambangsari, Pesiraman dan tempat-tempat yang dianggap keramat oleh warga sekitarnya, tempat-tempat seperti: Rumah Eyang Kromodiwiryo, Watu Dakon yang dulunya digunakan untuk menyimpan pusaka, Punden Lambing Kuning, Lumbung Selayur, Sumur Kuno dan Sendang Jambangan.

Desa ini masuk dalam wilayah Kecamatan Wungu Kabupaten Madiun. 50% Penduduknya bekerja sebagai petani dan sisanya adalah pegawai dan pedagang. Tanaman padi merupakan hasil bumi unggulan dari desa ini,, dalam satu tahun desa ini mampu 3 kali panen padi, hal itu disebabkan para petani di desa ini menggunakan pompa air untuk mengairi sawah mereka sehingga walupun musim kemarau para petani di desa ini tetap bisa menanam Padi.

Ditengah Desa terdapat sebuah situs yaitu Situs Punden Lambang Kuning atau yang lebih dikenal dengan nama Punden Nglambangan. Oleh pemerintah Kabupaten Madiun situs ini telah diakui sebagai peninggalan purbakala, sehingga keberadaanya perlu dilestarikan.
Pohon pohon yang berada dalam komplek situs ini telah berumur ratusan tahun, sehingga suasana dalam komplek situs ini amat tenang dan sejuk. Pada siang hari banyak penduduk desa yang berkumpul dan beristirahat, bahkan sewaktu aku kecil tempat ini adalah tempat pilihan untuk kami bermain, ada yang main kelereng, ayunan, betengan, sepak bola, plantek dan kote'kan yaitu bermain musik dengan cara memukul batu, akar dan beberapa pangkal pohon yang sudah mati merurut iramanya masing masing .Situs ini begitu ramai tidak seperti situs situs lain yang terkesan angker.

Pada setiap tahun di hari Jum'at legi di bulan suro atau Muharam warga desa mengadakan bersihan atau bersih desa. Biasanya digelar pertunjukan wayang kulit pada malam hari, reog dan langen beksan sejenis tayub pada siang harinya, warga desa berduyun-duyun membawa nasi tumpeng untuk selamatan sebagai wujud puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas keselamatan, panen hasil bumi, dan terhindarkan warga desa dari bencana dan wabah penyakit.

Mungkin dari situs ini bisa diteliti kapan Desa Nglambangan ini berdiri, dan sejarah apa saja yang bisa digali serta hubungannya dengan sejarah kerajaan-kerajaan yang pernah ada di pulau jawa, serta bisa dijadikan obyek pariwisata, sehinga dapat menambah penghasilan dan kemajuan pembangunan untuk desa ini. sayang sekali sampai saat ini belum ada perhatian lebih dari pemerintah daerah maupun pusat ke arah itu.


Artikel ini kami susun berdasarkan artikel-artikel yang sudah ada di berbagai website,blog dan juga dari buku/catatan atau referensi-referensi lain. Sebelumnya kami minta maaf apabila teman-teman blogger merasa artikelnya telah kami kutip ke dalam tulisan ini. Kami hanya berupaya  untuk ikut melestarikan dan mempopulerkan sejarah perjuangan nenek moyang kita, agar generasi muda sekarang mengetahui dan akhirnya ikut nguri-uri semua yang telah di wariskan kepada kita. Kami berharap generasi muda khususnya di Madiun dan sekitarnya tidak melupakan dan bahkan menganggap rendah terhadap  budaya sendiri (budaya Jawa)di bandingkan budaya mancanegara.
Semoga dengan semakin banyaknya pecinta sejarah dan budaya di Madiun, maka semua cerita sejarah dan budaya yang ada di Madiun  sekitarnya akan semakin banyak terungkap, terlepas adanya pro-kontra dan perbedaan-perbedaan. Terima kasih


SEJARAH SECARA SEKILAS

Sama-Sama Belajar - Madiun merupakan suatu wilayah yang dirintis oleh Ki Panembahan Ronggo Jumeno atau biasa disebut Ki Ageng RonggoAsal kata Madiun dapat diartikan dari kata "medi" (hantu) dan "ayun-ayun" (berayunan), maksudnya adalah bahwa ketika Ronggo Jumeno melakukan "Babat tanah Madiun" terjadi banyak hantu yang berkeliaran. Penjelasan kedua karena nama keris yang dimiliki oleh Ronggo Jumeno bernama keris Tundhung Medhiun. Pada mulanya bukan dinamakan Madiun, tetapi Wonoasri.
  • Sebelum berubah menjadi Madiun, nama yang dipakai ada beberapa versi:
    Pada sejarah Kabupaten Madiun disebutkan 2 nama yaitu yaitu (desa/kabupaten) Wonorejo dan Purbaya. Sementara di Wikipedia muncul 2 nama yaitu Wonosari dan Purabaya 
  • Nama Madiun
    baru digunakan sejak tanggal 16 Nopember 1590 Masehi (untuk menggantikan nama {Purbaya / Purabaya).
  • Asal mula pemerintahan Kabupaten Madiun awalnya bermula dari Nguwaran Dolopo dan kemudian pusat pemerintahan dipindahkan ke desa Sogaten. Pada tahun 1575 berpindah lagi ke Desa Wonorejo atau Kuncen, Kota Madiun sampai tahun 1590
  • Pusat pemerintahan Kota Madiun semula adalah "Kuto Miring" terletak di Desa Demangan Kecamatan Taman Kota Madiun, kemudian digeser ke utara lagi yaitu ditengah Kota Madiun (sekarang di Komplek Perumahan Dinas Bupati Madiun).
  • Beberapa peninggalan keadipatian Madiun salah satunya dapat dilihat di Kelurahan Kuncen, dimana terdapat makam Ki Ageng Panembahan Ronggo Jumeno, Patih Wonosari selain makam para Bupati Madiun, Masjid Tertua di Madiun yaitu Masjid Nur Hidayatullah dll.
  • Di Kelurahan Taman juga dimakamkan pahlawan-pahlawan pada zaman lampau, termasuk Kyai Ronggo (tapi tak jelas disebutkan yang mana, karena Ronggo ada Ronggo I s/d III) Ali Basah Sentot Prawirodirdjo adalah putra dari Ronggo II.

  • Pada tanggal 1 Januari 1832 Madiun secara resmi dikuasai oleh Pemerintah Hindia belanda dan dibentuk suatu Tata Pemerintahan yang berstatus "Karisidenan".
  • Ibu Kota Karisidenan berlokasi di Desa Kartoharjo (tempat Patih Kartohardjo) yang berdekatan dengan Istana Kabupaten Madiun di Pangongangan.
  • Pada tahun 1906 Kerajaan Belanda mengeluarkan Undang-undang yang bertujuan untuk memisahkan wilayah perkotaan Madiun dari Pemerintah Kabupaten Madiun.
Sejak awal Madiun merupakan sebuah wilayah di bawah kekuasaan Kesultanan Mataram. Dalam perjalanan sejarah Mataram, Madiun memang sangat strategis mengingat wilayahnya terletak di tengah-tengah perbatasan dengan Kerajaan Kadiri (Daha). Oleh karena itu pada masa pemerintahan Mataram banyak pemberontak-pemberontak kerajaan Mataram yang membangun basis kekuatan di Madiun. Seperti munculnya tokoh Retno Dumilah.

Beberapa peninggalan Kadipaten Madiun salah satunya dapat dilihat di Kelurahan Kuncen, dimana terdapat makam Ki Ageng Panembahan Ronggo Jumeno, Patih Wonosari selain makam para Bupati Madiun, Masjid Tertua di Madiun yaitu Masjid Nur Hidayatullah, artefak-artefak disekeliling masjid, serta sendang (tempat pemandian) keramat.

Sejak masa Hindia-Belanda, Madiun adalah suatu gemeente yang berpemerintahan sendiri (swapraja) karena komunitas Belanda yang bekerja di berbagai perkebunan dan industri tidak ingin diperintah oleh Bupati (yang adalah orang Jawa). Sebagai suatu kota swapraja, Madiun didirikan 20 Juni 1918, dengan dipimpin pertama kali oleh asisten residen Madiun. Baru sejak 1927 dipimpin oleh seorang walikota. Berikut adalah walikota Madiun sejak 1927:

1. Mr. K. A. Schotman
2. J.H. Boerstra
3. Mr. L. van Dijk
4. Mr. Ali Sastro Amidjojo
5. Dr. Mr. R. M. Soebroto
6. Mr. R. Soesanto Tirtoprodjo
7. Soedibjo
8. R. Poerbo Sisworo
9. Soepardi
10. R. Mochamad
11. R. M. Soediono
12. R. Singgih
13. R. Moentoro
14. R. Moestadjab
15. R. Roeslan Wongsokoesoemo
16. R. Soepardi
17. Soemadi
18. Joebagjo
19. R. Roekito, B.A.
20. Drs. Imam Soenardji
21. Achmad Dawaki, B.A.
22. Drs. Marsoedi
23. Drs. Masdra M. Jasin
24. Drs. Bambang Pamoedjo
25. Drs. H. Achmad Ali
26. H.Kokok Raya, S.H., M.Hum
27. Drs. H. Bambang Irianto, SH.MM


Kota Madiun dahulu merupakan pusat dari Karesidenan Madiun, yang meliputi wilayah Magetan, Ngawi, Ponorogo, dan Pacitan. Meski berada di wilayah Jawa Timur, secara budaya Madiun lebih dekat ke budaya Jawa Tengahan (Mataraman atau Solo-Yogya), karena Madiun lama berada di bawah kekuasaan Kesultanan Mataram.

Pada tahun 1948, terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh PKI di Madiun, yang dipimpin oleh Musso di dungus,Wungu,Kab Madiun yang sekarang di kenal dengan nama Monumen Kresek.

2 komentar:

  1. semoga menambah kasanah pengetahuan tentang sejarah tanah kelahiran kita,dan semoga semangat juang para pendahulu kita ,bisa kita tiru untuk memacu kita terus berkarya.

    BalasHapus
  2. ada yg tahu tentang uang kertas darurat Madiun 1948 ?aas,pemerhati numismatik(mata uang)( & sejarah daerah

    BalasHapus